Selasa, 18 Maret 2008

Pendidikan Sebagai Panglima

oleh: Dr. KOMARUDDIN HIDAYAT (*

Setelah perang Dunia II berakhir, hampir semua negara melakukan konsolidasi politik dan ekonomi. Bagi Indonesia yang masyarakatnya sedemikian majemuk dan penduduknya tersebar di berbagai pulau, sungguh konsolidasi adalah tugas yang amat berat dan sangat monumental dalam perjalanan bangsa ini. Bung Karno dan pendiri bangsa lainnya pantas sekali mendapatkan penghargaan dari kita semua yang telah bersusah-payah dan berhasil menghantarkan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengingat urgensi agenda konsolidasi politik, maka muncul istilah “politik sebagai panglima” pada era Bung Karno yang juga populer dengan sebutan Orde Lama.

Mari merenung sejenak, mengamati rahasia yang menjadi sumber kebangkitan dan kekuatan dari sebuah bangsa dan negara. Salah satu kata kuncinya adalah pendidikan.

Kita mulai dari yang paling klasik, yaitu Yunani. Siapa pun yang belajar pemikiran filsafat dan politik, mesti mulai dari warisan intelektual Plato dan Aristoteles 2.500 tahun lalu. Seakan dua nama itu masih hidup dan dikenal dunia, sementara kondisi bangsa dan masyarakat Yunani saat ini bagaimana, kita tidak begitu akrab.

Disinilah bedanya. Mesir purba yang memiliki peradaban unggul seperti Yunani, namun karena tidak terabadikan dalam bentuk tulisan dan diwariskan dalam sistem pendidikan, maka yang tersisa hari ini adalah bangunan fisik berupa candi piramida dan Spink.

Yang paling spektakuler tentu saja kebangkitan yang muncul dari pasir Arabia dengan kehadiran sosok Muhammad yang mengenalkan Alquran, sumber ilmu pengetahuan dan peradaban, sehingga dalam kurun waktu yang amat singkat wilayah padang pasir itu berubah menjadi pusat peradaban

Neo-Nasionalisme

Kondisi sekian banyak negara yang menyatakan merdeka setelah Perang DuniaII ternyata berbeda-beda. Ada yang cepat, ada yang sedang, ada pula yang lambat melakukan konsolidasi dan modernisasi. Negara-negara pascakolonial ini masih sulit menghilangkan luka akibat perang dan penjajahan. Terlebih Indonesia yang masyarakatnys sangat majemuk dan penduduknya tersebar diribuan pulau. Sungguh merupakan tugas sejarah yang tidak ringan membangun pemerintahan yang efektif dan penguasaan naionalisme. Sampai hari ini kita mesti bersyukur tidak terjadi Balkanisasi di negeri ini.

Menyusul setelah konsolidasi politik adalah orde pembangunan ekonomi sebagai panglima di bawah Presiden Soeharto. Ini merupakan pilihan dan keharusan sebagaimana juga yang dilakukan bangsa dan negara lain di dunia. Nasionalisme yang didorong oleh semangat fight againts (penjajah) pelan-pelan diganti oleh semangat fight for yang berorientasi pada prestasi pembangunan ekonomi. Generasi yang lahir pada 1970-an tentu tidak merasakan secara langsung bagaimana bobroknya kondisi ekonomi yang ditinggalkan rezim Orde Lama yang sarat dengan retorika politik antiimperialisme Bung Karno bisa disebut sebagai nation and statebuilder

Berbeda dari Bung Karno, Pak Harto tampil membangun ekonomi sehingga dia sering dijuluki sebagai market builder

Namun sangat disayangkan, gerak maju pembangunan bangsa ini harus mundur lagi karena kesalahan manajemen politik dan muncullah era reformasi dalam sauasana kmarahan dan kekecewaan karena Orde Baru gagal mengelole sukses (the failure of success) akibat kronis yang justru dipelihara dan disebarkan dari tubuh birokrasi dan elite penguasa.

Kini, kita masih harus berjuang keras mengulangi agenda lama, yaitu konsolidasi politik dan membangun ekonomi, sementara beberapa negara lain sudah lebih maju lagi memasuki tahapan pembangunan pendidikan dan budaya . Ibarat mobil, kita terpaksa mundur untuk maju, namun mundurnya jangan terlalu jauh. Hanya dengan pendidikan yang bagus, kompetitif, dan meratalah sebuah bangsa akan bisa tampil dengan kepala tegak dalam persaingan dunia.

Tidak sulit membuktikan kebenaran teori ini. Lihat saja benua Australia yang dulu dipandang sebelah mata sebagai gurun pasir tempat pelarian orang kulit putih kelas kambing, kini kemajuannya sangat mengesankan berkat lembaga pendidikan yang bagus, sebuah pendidikan dalam arti yang lebih luas, bukan sekadar memperoleh titel kesarjanaan, tetapi untuk mendorong munculnya kebudayaan dan peradaban unggul yang dikembangkan oleh warganya.

Begitupun China, India, Malaysia, dan Singapura yang sekarang ini tampil sebagai pemain baru yang diperhitungkan dalam percaturan global. Kesemuanya itu bermula dari pembangunan politik, ekonomi, kemudian dilanjutkan dengan memposisikan program pendidikan sebagai prioritas utama. Singapura yang semula dikenal hanya sebagai kota belanja dan transit, kini sangat agresif membenahi diri untuk menjadikan pendidikan sebagai identitas diri dan sumber devisa. Meminjam ungkapan teman, pemerintah Singapura mengisi otak dan hati rakyatnya setelah diberi rasa aman dan perutnya dikenyangkan lebih dahulu.

Paruh kedua pemerintahan Pak Harto sebenarnya rasa aman dan perut kenyang sudah diraih. Namun ada aspek lain yang dilupakan, yaitu mengelolah hasil pembangunan bidang pendidikan. Tuntutan kelas menengah dan lapisan terpelajar tentu tidak cukup hanya terpenuhi kebutuhan sandang dan pangan. Mereka mulai menuntut ruang kebebasan untukberpendapat dan berbeda.

Tuntutan inilah yang kurang direspons segera oleh Pak Harto sehingga berujung menjadi air bah yang menghantam dirinya. Jadi, sesungguhnya Pak Harto telah berhasil memakmurkan dan memintarkan rakyatnya sendiri, namun lupa atau enggan membuka keran demokrasi sehingga hasil jerih payahnya selama jadi presiden buyar berantakan. Dia gagal mengelola sebuah keberhasilan. Mungkin kesalahannya tidak fair dilemparkan kepad Pak Harto sendiri. Andil kroni-kroninya sangat besar dalam proses pembusukan rezim Orde Baru.

Negara-negara tetangga di Asia Tenggara mestinya memperoleh pelajaran yang amat berharga dari perjalanan Indonesia. Kalau pemerintah dinilai korup, sementara keran demokrasi tidak dibuka, maka rakyat yang sudah kenyang dan pintar itu pasti akan bergolak menghantam pemerintah sendiri.

Jadi, agenda ke depan ini Indonesia mesti membangun nasionalisme, sebuah kecintaan dan kebanggaan menjadi warga Indonesia karena prestasi pendidikan dan peradabannya. Bunyi undang-undang yang menetapkan anggaran pendidikan sebesar 20 % sudah tepat.

Kita sebagai orangtua sangat siap kerja keras dan hidup prihatin demi mengantarkan anak-anak kita memperoleh pendidikan yang bagus demi masa depan mereka. Bisakah semangat dan kesiapan prihatin demi anak ini ditransfer menjadi sikap pemerintah dan bangs secara kolektif (*)



*)Rektor UIN Syarif Hidayatullah

SINDO, Jumat 7 Maret 2008

Tidak ada komentar: