Selasa, 04 Maret 2008

MENDIDIK ANAK DENGAN KASIH SAYANG

Oleh: Sukadi, S.Pd.
Kepala Sekolah Dasar Swasta Tadika Puri
Cabang Jalan Haji Nawi


P e n d a h u l u a n
Segala Puji bagi Allah Swt. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah saw.
Pendidikan anak dalam pandangan para pendidik begitu jelas, sejelas cahaya matahari pada siang hari. Meskipun demikian, masih sering kita mendengar, menyaksikan dan membaca tentang berbagai penyimpangan perilaku anak dalam masyarakat sebagai akibat dari pendidikan yang salah. Sebagian muncul karena ketidak pedulian, sikap meremehkan, dan kelalaian dalam mendidik; sebagian lagi muncul dari niat yang baik, namun tetap salah karena ketidak tahuan cara mendidik; sebagian lagi timbul sebagai dampak dari sikap orang tua yang dictator, otoriter, dan sebagainya.

Ironisnya hal itu terjadi pada saat kita membutuhkan lahirnya generasi yang kuat, berkomitmen kepada ajaran-ajaran Allah, kreatif, dermawan, mampu menyumbangkan dalam segala bidang kehidupan maupun mengembalikan kita kepada kejayaan, berani menghadapi segala permasalahan zaman, dan siap merespon aneka tantangan dengan penuh kebajikan, kekuatan, dan pemahaman.

Untuk itulah saya mencoba menulis beberapa hal yang diperlukan orang tua maupun pendidik dalam mendidik anak untuk menghindari dampak buruk dari model pendidikan kita kepada anak didik kita. Untuk itu mari kita memohon kepada Allah Swt. Kiranya Dia memberi taufik dalam mendidik anak-anak kita agar menjadi insan yang berakhlak mulia, berpegang teguh pada agama, dan menjadikan mereka manusia yang berguna bagi dirinya, otang tuanya, bangsa dan agamanya. Amin.

Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan dalam mendidik anak kita maupun murid-murid kita. Ada beberapa yang harus kita perhatikan dan ada beberapa pula yang kita hindari diantaranya sebagai berikut :

1. Tidak memaksakan kewajiban tanpa pemahaman.
Apakah seorang anak harus selalu mengetahui mengapa ia harus mengerjakan sesuatu pekerjaan atau tugas yang menjadi tanggung jawabnya? Dalam situasi yang mendesak kita diperbolehkan menuntut anak-anak kita untuk melaksanakan perintah tanpa harus memberi penjelasan terlebih dahulu.pentingnya perintah-perintah itu dilakukan oleh mereka. Akan tetapi dalam banyak kesempatan kita harus menjelaskan alasan-alasan itu dengan tenang, bijak dan penuh penghargaan, jika kita menginginkan mereka menuruti perintah kita.dalam hal ini kita bisa mengambil pelajaran dari contoh berikut.

Amin ingin memakai motor ayahnya yang telah ayahnya cuci bersih dan tengki diisi penuh untuk bekerja keesokan harinya . ayahnya menolak dengan mengatakan “tidak” tanpa menjelaskan alasan sama sekali. Amin merasa tidak suka dengan sikap kaku itu. Perasaan tidak suka itupun akhirnya muncul dalam bentuk reaksi menolak membantu ayahnya mengurusi taman rumah.

Sebetulnya ayah Amin bisa mengatakan “ayah mencuci dan mengisi bensin dalam tengki penuh untuk persiapan kerja besok, karena ayah tidak ingin datang ke kantor terlambat karena harus mengantri di pom untuk mengisi bensin.” Dengan kalimat itu boleh jadi Amin akan memahami sikap ayahnya dengan lapang dada.

Upaya menghormati anak dengan cara meyakinkannya dan tidak melarangnya secara meyeramkan adalah hal yang sangat penting untuk kita pegang teguh. Berikut adalah contoh lain yang menjelaskan betapa pentingnya meyakinkan anak dan tidak membuatnya ketakutan sehingga ia responsive terhadap kita.

Aminah adalah gadis cilik berusia 9 tahun. Ia ingin menggambar dengan tinta hitam sebagai tugas ekstrakulikuler. Rencananya gambar itu akan ditempel pada majalah dinding di kelasnya. Dengan karyanya itu dia berharap mendapatkan nilai. Aminah kemudian menemui ayahnya untuk meminta tinta hitam. Pada saat itu, ayahnya bisa saja menolak permintaan tersebut, alasannya mungkin tinta itu akan tumpah dan mengotori karpet kamar pada saat Aminah menggunakannya. Akan tetapi, sang ayah berfikir jika ia melakukan hal itu maka pasti anaknya akan memberontok dan marah. Kemungkinan muncul perdepatan sengit antara dirinya dan putrinya yang ingin mendapatkan tinta itupun bisa terjadi.

Atas pertimbangan tersebut, ayah Aminah memutuskan untuk menjelaskan alasannya tidak mengijinkan penggunaan tinta itu “bukankah lebih baik jika kamu menggunakan pensil warna, ayah kawatir jika tumpah tinta ini akan mengotori karpet dan susah untuk dibersihkan” kata sang ayah. Namun si anak berkata “aku ingin garis-garis yang jelas dan indah. Tinta hitam akan sangat membantuku mewujudkannya aku mohon ayah bisa memberikan tinta itu.” Aminah menjawab. “mungkin juga kamu malah merusak gambar yang kamu buat jika kamu tidak hati-hati menggunakannya. Jika tinta itu tumpah maka kamu terpaksa harus membuat gambar lagi dari awalkan?” jelas si ayah. “saya akan sangat hati-hati tinta tidak akan tumpah.” Gadis itu bersikeras memberi alasan.

Akhirnya si ayah setuju dengan mengatakan “terserah kamu kalau begitu, silakan ambil tinta dan pulpennya dari meja ayah. Ayah akan duduk untuk mengawasi kamu. Kamu buat saja gambar itu di atas kertas draf. Hat-hati ya.” Setelah itu tiba-tiba Aminah menarik kembali keputusannya ia kawatir malah ia akan membuang banyak waktu saat melakukan percobaan menggambar. Ia juga berfikir mungkin saja ia merusak gambar yang sudah dibuat sehingga ia harus membuatnya lagi dari awal. Akhirnya Aminah berkata kepada ayahnya” saya pikir ayah benar, saat mengatakan aku akan mengotori karpet. Saya lebih baik menggunakan pensil warna yang saya beli pekan lalu.

Dalam kasus di atas kita bisa melihat ayah Aminah tidak melarang anaknya dengan cara yang menakutkan. Pada hal ia bisa saja berkata “ kamu akan membiarkan botol tinta terbuka seperti kebiasaan kamu lalu tumpah.” Ia bisa juga berkata “kamu kadang lalai sehingga tinta tumpah di karpet dan merusaknya.” Namun, Ayah Aminah lebih memilih cara yang dapat meyakinnkan anaknya sembari mempertimbangkan perasaan anaknya itu dengan mengatakan, “ mungkin juga kamu malah merusak gambar yang kamu buat itu jika kamu tidak hati-hati menggunakannya. Jika tinta itu tumpah maka kamu terpaksa harus membuat gambar lagi dari awalkan?”

Dalam hal ini si ayah membuat anaknya menghindari sendiri penggunaan tinta hitam karena boleh jadi hanya akan merusak pekerjaan yang sudah ia mulai. Perasaanya itu membuatnya berfikir untuk menarik kembali gagasanya tanpa tekanan dari ayahnya dia memilih sendiri dengan menggunakan pensil warna.

Sejujurnya jika kita mencatat dialog kita dengan anak-anak atau murid kita sepanjang hari, niscaya kita akan melihat kenyataan bahwa sebagian besar ungkapan kita adalah instruksi untuk melaksanakan tugas dan kewajiban.

Kalimat-kalimat yang keluar dari mulut kita misalnya sebagai berikut:

“ cepat kerjakan”
“duduklah dengan baik”
“jangan banyak ngobrol”
“cepat pakai baju”
“baju kamu kotor, cepat ganti dengan yang lain”
“ itu makanan kamu, cepat kamu makan”
“pergi dan sisirlah rambutmu yang acak-acakan itu”
“cepat jika kamu tidak mau terlambat”
“sana pergi tidur”

Dari rekaman itu jelaslah bahwa ungkapan kita kepada anak\murid-murid kita lebih banyak berupa perintah.jadi tidak usah merasa heran jika mereka pura-pura tidak mendengar dan tidak mengikuti perintah-perintah itu.

Ada satu hal lagi yang tidak boleh luput dari perhatian kita. Betul bahwa kita perlu membuat anak dapat menerima dan memahami segala perintah kita namun bukan berarti kita harus diam jika anak menolak perintah atau larangan kita. Membiarkannya mengikuti nafsu akan merusak dirinya sendiri.

2. Tidak meyikapi perilaku anak tidak hanya dengan satu pola.
Menerapkan hanya satu pola pendidikan dalam menyikapi perilaku anak, padahal ia sudah melakukan perubahan, adalah sangat merusak. Satu pola pendidikan yang dimaksud adalah seperti orang tua yang selalu berkata dengan kata-kata keras, padahal perilaku anak sudah berubah menjadi baik. Mungkin juga sebaliknya, orang tua selalu memuji dan menyanjung anaknya atau murid-muridnya padahal anak itu telah melakukan keburukan, semisal menyakiti temanya atau saudaranya.

Bila seorang anak mendapatkan perlakuan dengan pola kasih sayang secara berlebihan, ia akan tumbuh sebagai orang yang tidak memiliki kepedulian. Ia tidak akan mau berusaha untuk untuk mengubah perilaku dan memperbaiki kesalahan karena apa pun yang ia lakukan selalu mendapatkan simpati dan sanjungan. Namun apabila seorang anak hanya mendapatkan perlakuan kasar dari kedua orang tuanya, padahal sudah berusaha untuk lebih baik , ia akan berputus asa dari perubahan. Sikap itu akan merangsangnya untuk mengurung diri dari mengubah sikap dan bersikeras dalam kesalahan, selama ia tidak pernah mendapatkan penghargaan dan dorongan atas segala upaya baiknya untuk memperbaiki diri.

Ia juga akan merasa dintimidasi dan dizalimi. Oleh karena itu, akan hancurlah fondasi yang kelak menjadi pijakan bagi nilai-nilai dan prinsip-prinsip luhur. Ini terjadi karena ia menemukan model buruk berupa kezaliman pada orang terdekatnya, dalam hal ini orang tuanya. Jika ini terjadi lantas dari mana dan bagaimana ia belajar tentang keadilan, niai-nilaidan prinsip-prinsip pijakan pendidikan?

3. Tidak Segan menerapkan disiplin
Anak membutuhkan disiplin sebagaimana ia membutuhkan kasih sayang. Yang kita maksud dengan menerapkan disiplin adalah mengajarkan anak agar mampu mengendalikan diri dan berperilaku baik. Ia membutuhkan keduanya. Jika mendapatkan disiplin dan kasih sayang, ia belajar menghormati diri sendiri dan sekaligus mengendalikannya.

Kita mengajarkan disiplin kepada murid-murid atau kepada anak-anak kita karena kita mencintai mereka. Kita juga menginginkan agar mereka memiliki rasa tanggung jawab serta kemampuan yang baik saat mereka dewasa. Akan tetapi beberapa pendidik atau orang tua engan menerapkan disiplin kepada anak didiknya karena takut kehilangan kasih sayang atau takut dikatakan sebagai guru yang kejam. Kita tidak bisa berharap menunggu perubahan terhadap anak tersebut setelah mereka dewasa. Hal tersebut mustahil terjadi kalau tidak ada motivasi dari dari anak tersebut. Ada beberapa kemungkinan mengapa pendidik atau orang tua enggan menerapkan disiplin kepada anak didik mereka antara lain sebagai berikut :
a. Pendidik atau orang tua berputus asa dan kehilangan harapan.
b. Bagi orang tua, mereka tidak mampu menentang keburukan anak karena mereka takut kehilangan cinta dan bagi pendidik takut dicap sebagai guru yang galak atau cerewet bahkan karena takut kepada orang tuanya karena mereka over protective terhadap anaknya. Mereka tidak ingin orang lain memarai atau menghukum anaknya.
c. Terjadi ketidak kompakan atara guru yang satu dengan guru yang lainnya.

4. Tidak menghukum anak atas perbuatan baiknya.
Dalam buku Tanzibul Akhlak yang dikarang oleh Ibnu Maskawih “ Seorng anak hendaknya diberi pujian dan dihargai saat menampilkan aklak mulia dan melakukan pekerjaan yang baik”

Meskipun demikian, pada sejumlah kasus pendidik atau oang tua justru menghukun anak secara tidak langsung saat melakukan hal-hal yang positif, bukan mendukungnya atau menghargainya. Berikut ini adalah beberapa contoh tentang hal itu.

Anisa ingin membuat kejutan kepada ibu gurunya disekolah dengan mengerjakan PR melebihi dari apa yang diperintahkan oleh guru tersebut, namun setelah PR tersebut ditunjukkan kepada ibu gurunya, ia tidak menghargai atas apa yang ia kerjakan malah mengatakan” saya hanya memerintahkan mengerjakan halaman sekian…., kenapa dikerjakan begitu banyak, kan belum ibu ajarkan!”

Jawaban ibu guru seperti itu sesungguhnya merupakan hukuman, bukan imbalan dengan cara seperti itu si ibu guru tidak mengakui inisiatif baik muridnya. Secara tidak langsung ia telah mengecam perbuatan baik itu dengan mempersalahkan muridnya.

Tono anak kelas empat SD. Menyodorkan buku raportnya yang bernilai baik kepada bapaknya yang tengah membaca Koran. Sambil terseyum si anak menghampiri ayahnya seraya mengatakan “ayah ini hasil yang ku peroleh tahun ini, pasti ayah senang.” Namun alih-alih menghentikan membaca Koran, memuji atau menghargai anak si ayah malah menyuruhnya pergi kepada ibunya untuk menanyakan kapan makan siang siap, sambil minta maaf bahwa ia sedang membaca berita penting.

Dari berberapa contoh diatas masih banyak orang tua atau pendidik yang pelit memberikan pujian kepada anak-anaknya yang menampilkan perilaku baik. Mungkin dengan dalih kesibukan bekerja sehari-hari sehingga mereka tidak mempunyai waktu untuk memperhatikan perilaku anak-anaknya. Mungkin juga mereka memiliki anggapan yang salah bahwa kewajiban anak atau murid untuk menampilkan perilaku yang baik tidak memerlukan imbalan. Seorang murid perempuan yang ingin menunjukkan inisiatif yang baik dengan mengerjakan PR melebihi dari apa yang ia perintahkan tidak memperoleh respon positif dari gurunya kemungkinan besar tidak lagi memiliki semangat untuk mengerjakan PR yang diperintahkan oleh ibu gurunya di kemudian hari. Anak yang mendapat kecaman gara-gara hanya mendapat nilai 9, bukan 10 kemungkinan tidak akan mau lagi melapor kepada orangtuanya, bahkan mungkin tidak lagi mempunyai semangat untuk belajar.

Agar tidak terjadi, kita harus menghindari menghukum anak/murid secara tidak langsung atas perbuatan baiknya. Hendaknya kita selalu ingat bahwa imbalan dan dukungan merupakan salah sutu sarana penting untuk membantu anak agar mampu belajar berperilaku baik. Tujuannya agar mereka berani belajar sendiri dan meningkatkan kepribadiannya.

5. Menghukum perilaku buruk anak
Anak yang berprilaku buruk hendaknya diberi hukuman dan tidak membiarkannya berlarut-larut sehingga, anak tidak mengetahui mana perbuatan baik dan mana yang tidak.

Pada suatu hari Ibu Sinta melihat dua murid sedang berkelahi, kemudian ia ditegur oleh kepala sekolah “kenapa ibu tidak menghentikan perkelahian itu?” dia menjawab “Dia sering berkelahi seperti itu saya sampai bosan melerainya. Nanti mereka juga baik lagi. Namanya juga anak-anak.”

Sikap pantang memberi hukuman, baik fisik maupun hukuman lainnya, terhadap kesalahan yang dibuat oleh anak atau murid adalah sebuah kesalahan besar.

6. Tidak memberikan isyarat negatif
Bila kita mengatakan kepada anak kita atau murid kita “Kamu anak yang nakal atau Kamu anak yang tukang bikin rebut dikelas atau kamu anak yang tidak patuh.” Si anak akan menganggap ungkapan itu sebagai mana gambaran sebenarnya tentang dirinya. Kemudian ia akan merasa benar jika ia melakukan sesuatu yang sesuai dengan julukan yang disandangkan kepada dirinya. Sebaliknya, jika kita mengatakan padanya, “anak baik seperti kamu tidak akan melakukan perbuatan seburuk itu” atau “kamu adalah anak berani, berakhlak dan terpelajar” semua itu memberikan isyarat positif yang baik bagi anak/murid kita.

Oleh karena itu, kita harus selalu menggunakan isyarat-isyarat positif terhadap anak/murid kita. Masih banyak guru/orangtua yang membicarakan perihal anaknya sedangkan si anak mendengar percakapan itu. Lain halnya jika yang dibicarakan itu hal-hal positif tentang anak.

Demikian tulisan ini saya buat agar mejadikan sedikit lilin penerang bagi pendidik ataupun orang tua atau bagi siapapun yang concern terhadap pendidikan anak.

Semuanya hanya kita kembalikan kepada Allah Swt. Beliau adalah maha sempurna, maha mengetahui alam beserta isinya. Mudah-mudahan kita semua dalam lindungaNya.
Amin.

Jakarta, 29 Februari 2008


Penulis


Daftar Pustaka
1. Dimas Rasyid Muhammad Langkah Salah Dalam Mendidik Anak Syaamil Cipta Media Bandung 2005
2. Wyckoff Jerry and Unnel C Barbara Discipline without Shouting and Spanking Bina Rupa Aksara 1996.
3. Subiyanto Paul Mendidik dengan Hati Elex Media Komputindo 2004.

Tidak ada komentar: