Selasa, 18 Maret 2008

Pendidikan Sebagai Panglima

oleh: Dr. KOMARUDDIN HIDAYAT (*

Setelah perang Dunia II berakhir, hampir semua negara melakukan konsolidasi politik dan ekonomi. Bagi Indonesia yang masyarakatnya sedemikian majemuk dan penduduknya tersebar di berbagai pulau, sungguh konsolidasi adalah tugas yang amat berat dan sangat monumental dalam perjalanan bangsa ini. Bung Karno dan pendiri bangsa lainnya pantas sekali mendapatkan penghargaan dari kita semua yang telah bersusah-payah dan berhasil menghantarkan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengingat urgensi agenda konsolidasi politik, maka muncul istilah “politik sebagai panglima” pada era Bung Karno yang juga populer dengan sebutan Orde Lama.

Mari merenung sejenak, mengamati rahasia yang menjadi sumber kebangkitan dan kekuatan dari sebuah bangsa dan negara. Salah satu kata kuncinya adalah pendidikan.

Kita mulai dari yang paling klasik, yaitu Yunani. Siapa pun yang belajar pemikiran filsafat dan politik, mesti mulai dari warisan intelektual Plato dan Aristoteles 2.500 tahun lalu. Seakan dua nama itu masih hidup dan dikenal dunia, sementara kondisi bangsa dan masyarakat Yunani saat ini bagaimana, kita tidak begitu akrab.

Disinilah bedanya. Mesir purba yang memiliki peradaban unggul seperti Yunani, namun karena tidak terabadikan dalam bentuk tulisan dan diwariskan dalam sistem pendidikan, maka yang tersisa hari ini adalah bangunan fisik berupa candi piramida dan Spink.

Yang paling spektakuler tentu saja kebangkitan yang muncul dari pasir Arabia dengan kehadiran sosok Muhammad yang mengenalkan Alquran, sumber ilmu pengetahuan dan peradaban, sehingga dalam kurun waktu yang amat singkat wilayah padang pasir itu berubah menjadi pusat peradaban

Neo-Nasionalisme

Kondisi sekian banyak negara yang menyatakan merdeka setelah Perang DuniaII ternyata berbeda-beda. Ada yang cepat, ada yang sedang, ada pula yang lambat melakukan konsolidasi dan modernisasi. Negara-negara pascakolonial ini masih sulit menghilangkan luka akibat perang dan penjajahan. Terlebih Indonesia yang masyarakatnys sangat majemuk dan penduduknya tersebar diribuan pulau. Sungguh merupakan tugas sejarah yang tidak ringan membangun pemerintahan yang efektif dan penguasaan naionalisme. Sampai hari ini kita mesti bersyukur tidak terjadi Balkanisasi di negeri ini.

Menyusul setelah konsolidasi politik adalah orde pembangunan ekonomi sebagai panglima di bawah Presiden Soeharto. Ini merupakan pilihan dan keharusan sebagaimana juga yang dilakukan bangsa dan negara lain di dunia. Nasionalisme yang didorong oleh semangat fight againts (penjajah) pelan-pelan diganti oleh semangat fight for yang berorientasi pada prestasi pembangunan ekonomi. Generasi yang lahir pada 1970-an tentu tidak merasakan secara langsung bagaimana bobroknya kondisi ekonomi yang ditinggalkan rezim Orde Lama yang sarat dengan retorika politik antiimperialisme Bung Karno bisa disebut sebagai nation and statebuilder

Berbeda dari Bung Karno, Pak Harto tampil membangun ekonomi sehingga dia sering dijuluki sebagai market builder

Namun sangat disayangkan, gerak maju pembangunan bangsa ini harus mundur lagi karena kesalahan manajemen politik dan muncullah era reformasi dalam sauasana kmarahan dan kekecewaan karena Orde Baru gagal mengelole sukses (the failure of success) akibat kronis yang justru dipelihara dan disebarkan dari tubuh birokrasi dan elite penguasa.

Kini, kita masih harus berjuang keras mengulangi agenda lama, yaitu konsolidasi politik dan membangun ekonomi, sementara beberapa negara lain sudah lebih maju lagi memasuki tahapan pembangunan pendidikan dan budaya . Ibarat mobil, kita terpaksa mundur untuk maju, namun mundurnya jangan terlalu jauh. Hanya dengan pendidikan yang bagus, kompetitif, dan meratalah sebuah bangsa akan bisa tampil dengan kepala tegak dalam persaingan dunia.

Tidak sulit membuktikan kebenaran teori ini. Lihat saja benua Australia yang dulu dipandang sebelah mata sebagai gurun pasir tempat pelarian orang kulit putih kelas kambing, kini kemajuannya sangat mengesankan berkat lembaga pendidikan yang bagus, sebuah pendidikan dalam arti yang lebih luas, bukan sekadar memperoleh titel kesarjanaan, tetapi untuk mendorong munculnya kebudayaan dan peradaban unggul yang dikembangkan oleh warganya.

Begitupun China, India, Malaysia, dan Singapura yang sekarang ini tampil sebagai pemain baru yang diperhitungkan dalam percaturan global. Kesemuanya itu bermula dari pembangunan politik, ekonomi, kemudian dilanjutkan dengan memposisikan program pendidikan sebagai prioritas utama. Singapura yang semula dikenal hanya sebagai kota belanja dan transit, kini sangat agresif membenahi diri untuk menjadikan pendidikan sebagai identitas diri dan sumber devisa. Meminjam ungkapan teman, pemerintah Singapura mengisi otak dan hati rakyatnya setelah diberi rasa aman dan perutnya dikenyangkan lebih dahulu.

Paruh kedua pemerintahan Pak Harto sebenarnya rasa aman dan perut kenyang sudah diraih. Namun ada aspek lain yang dilupakan, yaitu mengelolah hasil pembangunan bidang pendidikan. Tuntutan kelas menengah dan lapisan terpelajar tentu tidak cukup hanya terpenuhi kebutuhan sandang dan pangan. Mereka mulai menuntut ruang kebebasan untukberpendapat dan berbeda.

Tuntutan inilah yang kurang direspons segera oleh Pak Harto sehingga berujung menjadi air bah yang menghantam dirinya. Jadi, sesungguhnya Pak Harto telah berhasil memakmurkan dan memintarkan rakyatnya sendiri, namun lupa atau enggan membuka keran demokrasi sehingga hasil jerih payahnya selama jadi presiden buyar berantakan. Dia gagal mengelola sebuah keberhasilan. Mungkin kesalahannya tidak fair dilemparkan kepad Pak Harto sendiri. Andil kroni-kroninya sangat besar dalam proses pembusukan rezim Orde Baru.

Negara-negara tetangga di Asia Tenggara mestinya memperoleh pelajaran yang amat berharga dari perjalanan Indonesia. Kalau pemerintah dinilai korup, sementara keran demokrasi tidak dibuka, maka rakyat yang sudah kenyang dan pintar itu pasti akan bergolak menghantam pemerintah sendiri.

Jadi, agenda ke depan ini Indonesia mesti membangun nasionalisme, sebuah kecintaan dan kebanggaan menjadi warga Indonesia karena prestasi pendidikan dan peradabannya. Bunyi undang-undang yang menetapkan anggaran pendidikan sebesar 20 % sudah tepat.

Kita sebagai orangtua sangat siap kerja keras dan hidup prihatin demi mengantarkan anak-anak kita memperoleh pendidikan yang bagus demi masa depan mereka. Bisakah semangat dan kesiapan prihatin demi anak ini ditransfer menjadi sikap pemerintah dan bangs secara kolektif (*)



*)Rektor UIN Syarif Hidayatullah

SINDO, Jumat 7 Maret 2008

Selasa, 04 Maret 2008

Presiden SBY: "Ucapan Guru Harus Bisa Dipercaya"

Pekanbaru 25 – 11 – 2007; Presiden SBY menyampaikan sambutan pada acara peringatan Hari Guru serta HUT ke 62 PGRI di Pekan Baru, Riau, Minggu (25/11) pagi. (foto: muchlis/presidensby.info)
Presiden SBY menyampaikan sambutan pada acara peringatan Hari Guru serta HUT ke 62 PGRI di Pekan Baru, Riau, Minggu (25/11) pagi. (foto: muchlis/presidensby.info)
Pekan Baru: Pemimpin pada hakikatnya juga seorang guru. Tidak harus kita menjadi Guru Bangsa, Bapak Bangsa atau Ibu Bangsa, tetapi menjadi guru pun luar biasanya mulia. Karena itu persyaratan menjadi guru amatlah berat. Ucapan seorang guru atau ucapan seorang pemimpin harus dapat dipercaya karena benar, faktual, dan dapat dipertanggungjawabkan. Bukan fitnah. Ucapan guru atau ajakan pemimpin dilakukan dengan memberi contoh, dan ahirnya diikuti oleh anak didiknya . Jika itu dilakukan, guru dan pemimpin akan diikuti murid dan dituruti rakyatnya.

Demikian dikatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hari Minggu (25/11) siang, di Rumbia Hall Sport Centre Pekanbaru, Riau saat memberikan sambutan pada peringatan Hari Guru Nasional 2007dan HUT ke - 62 PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia). Ditambahkan, seorang pemimpin apalagi tingkatannya Guru Bangsa, dimana berat untuk mencapai gelar itu dan berat persyaratannya, harus lebih mawas diri. Tidak seenaknya menuduh orang lain bersalah. Mari kita menjadi guru dan pemimpin yang baik. Seperti ilmu padi, makin berilmu makin menunduk, " lanjutnya. Ditambahkan, seorang pemimpin disamping sebagai guru juga sebagai murid, karena tidak ada manusia yang sempurna. SBY mengajak semua pemimpin untuk menjadi guru yang baik, tapi sekaligus juga sebagai murid yang baik.


Kepada PGRI, SBY juga mengajak untuk terus memberikan saran dan masukan yang tepat dan realistis untuk masa depan pendidikan ."Tidak perlu harus berunjuk rasa. Kalau guru senang berunjuk rasa, muridnya bisa bingung. Siapa yang akan mengajar mereka? Unjuk rasa pun kita akan tanggapi dengan baik," ujar SBY. Presiden minta agar Mendiknas, PGRI dan komunitas guru lainnya untuk bersama sama dengan DPR merumuskan agar kenaikan anggaran pendidikan disertai dengan peningkatan kesejahteraan guru. "Kita harus terus meningkatkan kesejahteraan guru sesuai kemampuan negara, " ujar SBY.

Usai memberikan sambutan, SBY, Ibu Negara dan rombongan disuguhi tari zapin Kasih Budi yang dimainkan oleh sekitar 100 murid TK sekota Pekan Baru, untuk selanjutnya bertolak kembali ke Jakarta tepat pukul 12. 40 WIB. Tampak ikut dalam rombongan SBY dalam kunjungan kerjanya ke Pekanbaru ini antara lain Ketua DPD Ginanjar Kartasasmita, Menko Kesra Aburizal Bakrie, Mensesneg Hatta Rajasa, Seskab Sudi Silalahi, Menag Maftuh Basyuni, Meneg Pendayaangunaan Aparatur Negara Taufik Effendi, Meneg Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, Meneg PDT Lukman Edy, dan Jubir Presiden, Andi Mallarangeng.(win)

MENDIDIK ANAK DENGAN KASIH SAYANG

Oleh: Sukadi, S.Pd.
Kepala Sekolah Dasar Swasta Tadika Puri
Cabang Jalan Haji Nawi


P e n d a h u l u a n
Segala Puji bagi Allah Swt. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah saw.
Pendidikan anak dalam pandangan para pendidik begitu jelas, sejelas cahaya matahari pada siang hari. Meskipun demikian, masih sering kita mendengar, menyaksikan dan membaca tentang berbagai penyimpangan perilaku anak dalam masyarakat sebagai akibat dari pendidikan yang salah. Sebagian muncul karena ketidak pedulian, sikap meremehkan, dan kelalaian dalam mendidik; sebagian lagi muncul dari niat yang baik, namun tetap salah karena ketidak tahuan cara mendidik; sebagian lagi timbul sebagai dampak dari sikap orang tua yang dictator, otoriter, dan sebagainya.

Ironisnya hal itu terjadi pada saat kita membutuhkan lahirnya generasi yang kuat, berkomitmen kepada ajaran-ajaran Allah, kreatif, dermawan, mampu menyumbangkan dalam segala bidang kehidupan maupun mengembalikan kita kepada kejayaan, berani menghadapi segala permasalahan zaman, dan siap merespon aneka tantangan dengan penuh kebajikan, kekuatan, dan pemahaman.

Untuk itulah saya mencoba menulis beberapa hal yang diperlukan orang tua maupun pendidik dalam mendidik anak untuk menghindari dampak buruk dari model pendidikan kita kepada anak didik kita. Untuk itu mari kita memohon kepada Allah Swt. Kiranya Dia memberi taufik dalam mendidik anak-anak kita agar menjadi insan yang berakhlak mulia, berpegang teguh pada agama, dan menjadikan mereka manusia yang berguna bagi dirinya, otang tuanya, bangsa dan agamanya. Amin.

Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan dalam mendidik anak kita maupun murid-murid kita. Ada beberapa yang harus kita perhatikan dan ada beberapa pula yang kita hindari diantaranya sebagai berikut :

1. Tidak memaksakan kewajiban tanpa pemahaman.
Apakah seorang anak harus selalu mengetahui mengapa ia harus mengerjakan sesuatu pekerjaan atau tugas yang menjadi tanggung jawabnya? Dalam situasi yang mendesak kita diperbolehkan menuntut anak-anak kita untuk melaksanakan perintah tanpa harus memberi penjelasan terlebih dahulu.pentingnya perintah-perintah itu dilakukan oleh mereka. Akan tetapi dalam banyak kesempatan kita harus menjelaskan alasan-alasan itu dengan tenang, bijak dan penuh penghargaan, jika kita menginginkan mereka menuruti perintah kita.dalam hal ini kita bisa mengambil pelajaran dari contoh berikut.

Amin ingin memakai motor ayahnya yang telah ayahnya cuci bersih dan tengki diisi penuh untuk bekerja keesokan harinya . ayahnya menolak dengan mengatakan “tidak” tanpa menjelaskan alasan sama sekali. Amin merasa tidak suka dengan sikap kaku itu. Perasaan tidak suka itupun akhirnya muncul dalam bentuk reaksi menolak membantu ayahnya mengurusi taman rumah.

Sebetulnya ayah Amin bisa mengatakan “ayah mencuci dan mengisi bensin dalam tengki penuh untuk persiapan kerja besok, karena ayah tidak ingin datang ke kantor terlambat karena harus mengantri di pom untuk mengisi bensin.” Dengan kalimat itu boleh jadi Amin akan memahami sikap ayahnya dengan lapang dada.

Upaya menghormati anak dengan cara meyakinkannya dan tidak melarangnya secara meyeramkan adalah hal yang sangat penting untuk kita pegang teguh. Berikut adalah contoh lain yang menjelaskan betapa pentingnya meyakinkan anak dan tidak membuatnya ketakutan sehingga ia responsive terhadap kita.

Aminah adalah gadis cilik berusia 9 tahun. Ia ingin menggambar dengan tinta hitam sebagai tugas ekstrakulikuler. Rencananya gambar itu akan ditempel pada majalah dinding di kelasnya. Dengan karyanya itu dia berharap mendapatkan nilai. Aminah kemudian menemui ayahnya untuk meminta tinta hitam. Pada saat itu, ayahnya bisa saja menolak permintaan tersebut, alasannya mungkin tinta itu akan tumpah dan mengotori karpet kamar pada saat Aminah menggunakannya. Akan tetapi, sang ayah berfikir jika ia melakukan hal itu maka pasti anaknya akan memberontok dan marah. Kemungkinan muncul perdepatan sengit antara dirinya dan putrinya yang ingin mendapatkan tinta itupun bisa terjadi.

Atas pertimbangan tersebut, ayah Aminah memutuskan untuk menjelaskan alasannya tidak mengijinkan penggunaan tinta itu “bukankah lebih baik jika kamu menggunakan pensil warna, ayah kawatir jika tumpah tinta ini akan mengotori karpet dan susah untuk dibersihkan” kata sang ayah. Namun si anak berkata “aku ingin garis-garis yang jelas dan indah. Tinta hitam akan sangat membantuku mewujudkannya aku mohon ayah bisa memberikan tinta itu.” Aminah menjawab. “mungkin juga kamu malah merusak gambar yang kamu buat jika kamu tidak hati-hati menggunakannya. Jika tinta itu tumpah maka kamu terpaksa harus membuat gambar lagi dari awalkan?” jelas si ayah. “saya akan sangat hati-hati tinta tidak akan tumpah.” Gadis itu bersikeras memberi alasan.

Akhirnya si ayah setuju dengan mengatakan “terserah kamu kalau begitu, silakan ambil tinta dan pulpennya dari meja ayah. Ayah akan duduk untuk mengawasi kamu. Kamu buat saja gambar itu di atas kertas draf. Hat-hati ya.” Setelah itu tiba-tiba Aminah menarik kembali keputusannya ia kawatir malah ia akan membuang banyak waktu saat melakukan percobaan menggambar. Ia juga berfikir mungkin saja ia merusak gambar yang sudah dibuat sehingga ia harus membuatnya lagi dari awal. Akhirnya Aminah berkata kepada ayahnya” saya pikir ayah benar, saat mengatakan aku akan mengotori karpet. Saya lebih baik menggunakan pensil warna yang saya beli pekan lalu.

Dalam kasus di atas kita bisa melihat ayah Aminah tidak melarang anaknya dengan cara yang menakutkan. Pada hal ia bisa saja berkata “ kamu akan membiarkan botol tinta terbuka seperti kebiasaan kamu lalu tumpah.” Ia bisa juga berkata “kamu kadang lalai sehingga tinta tumpah di karpet dan merusaknya.” Namun, Ayah Aminah lebih memilih cara yang dapat meyakinnkan anaknya sembari mempertimbangkan perasaan anaknya itu dengan mengatakan, “ mungkin juga kamu malah merusak gambar yang kamu buat itu jika kamu tidak hati-hati menggunakannya. Jika tinta itu tumpah maka kamu terpaksa harus membuat gambar lagi dari awalkan?”

Dalam hal ini si ayah membuat anaknya menghindari sendiri penggunaan tinta hitam karena boleh jadi hanya akan merusak pekerjaan yang sudah ia mulai. Perasaanya itu membuatnya berfikir untuk menarik kembali gagasanya tanpa tekanan dari ayahnya dia memilih sendiri dengan menggunakan pensil warna.

Sejujurnya jika kita mencatat dialog kita dengan anak-anak atau murid kita sepanjang hari, niscaya kita akan melihat kenyataan bahwa sebagian besar ungkapan kita adalah instruksi untuk melaksanakan tugas dan kewajiban.

Kalimat-kalimat yang keluar dari mulut kita misalnya sebagai berikut:

“ cepat kerjakan”
“duduklah dengan baik”
“jangan banyak ngobrol”
“cepat pakai baju”
“baju kamu kotor, cepat ganti dengan yang lain”
“ itu makanan kamu, cepat kamu makan”
“pergi dan sisirlah rambutmu yang acak-acakan itu”
“cepat jika kamu tidak mau terlambat”
“sana pergi tidur”

Dari rekaman itu jelaslah bahwa ungkapan kita kepada anak\murid-murid kita lebih banyak berupa perintah.jadi tidak usah merasa heran jika mereka pura-pura tidak mendengar dan tidak mengikuti perintah-perintah itu.

Ada satu hal lagi yang tidak boleh luput dari perhatian kita. Betul bahwa kita perlu membuat anak dapat menerima dan memahami segala perintah kita namun bukan berarti kita harus diam jika anak menolak perintah atau larangan kita. Membiarkannya mengikuti nafsu akan merusak dirinya sendiri.

2. Tidak meyikapi perilaku anak tidak hanya dengan satu pola.
Menerapkan hanya satu pola pendidikan dalam menyikapi perilaku anak, padahal ia sudah melakukan perubahan, adalah sangat merusak. Satu pola pendidikan yang dimaksud adalah seperti orang tua yang selalu berkata dengan kata-kata keras, padahal perilaku anak sudah berubah menjadi baik. Mungkin juga sebaliknya, orang tua selalu memuji dan menyanjung anaknya atau murid-muridnya padahal anak itu telah melakukan keburukan, semisal menyakiti temanya atau saudaranya.

Bila seorang anak mendapatkan perlakuan dengan pola kasih sayang secara berlebihan, ia akan tumbuh sebagai orang yang tidak memiliki kepedulian. Ia tidak akan mau berusaha untuk untuk mengubah perilaku dan memperbaiki kesalahan karena apa pun yang ia lakukan selalu mendapatkan simpati dan sanjungan. Namun apabila seorang anak hanya mendapatkan perlakuan kasar dari kedua orang tuanya, padahal sudah berusaha untuk lebih baik , ia akan berputus asa dari perubahan. Sikap itu akan merangsangnya untuk mengurung diri dari mengubah sikap dan bersikeras dalam kesalahan, selama ia tidak pernah mendapatkan penghargaan dan dorongan atas segala upaya baiknya untuk memperbaiki diri.

Ia juga akan merasa dintimidasi dan dizalimi. Oleh karena itu, akan hancurlah fondasi yang kelak menjadi pijakan bagi nilai-nilai dan prinsip-prinsip luhur. Ini terjadi karena ia menemukan model buruk berupa kezaliman pada orang terdekatnya, dalam hal ini orang tuanya. Jika ini terjadi lantas dari mana dan bagaimana ia belajar tentang keadilan, niai-nilaidan prinsip-prinsip pijakan pendidikan?

3. Tidak Segan menerapkan disiplin
Anak membutuhkan disiplin sebagaimana ia membutuhkan kasih sayang. Yang kita maksud dengan menerapkan disiplin adalah mengajarkan anak agar mampu mengendalikan diri dan berperilaku baik. Ia membutuhkan keduanya. Jika mendapatkan disiplin dan kasih sayang, ia belajar menghormati diri sendiri dan sekaligus mengendalikannya.

Kita mengajarkan disiplin kepada murid-murid atau kepada anak-anak kita karena kita mencintai mereka. Kita juga menginginkan agar mereka memiliki rasa tanggung jawab serta kemampuan yang baik saat mereka dewasa. Akan tetapi beberapa pendidik atau orang tua engan menerapkan disiplin kepada anak didiknya karena takut kehilangan kasih sayang atau takut dikatakan sebagai guru yang kejam. Kita tidak bisa berharap menunggu perubahan terhadap anak tersebut setelah mereka dewasa. Hal tersebut mustahil terjadi kalau tidak ada motivasi dari dari anak tersebut. Ada beberapa kemungkinan mengapa pendidik atau orang tua enggan menerapkan disiplin kepada anak didik mereka antara lain sebagai berikut :
a. Pendidik atau orang tua berputus asa dan kehilangan harapan.
b. Bagi orang tua, mereka tidak mampu menentang keburukan anak karena mereka takut kehilangan cinta dan bagi pendidik takut dicap sebagai guru yang galak atau cerewet bahkan karena takut kepada orang tuanya karena mereka over protective terhadap anaknya. Mereka tidak ingin orang lain memarai atau menghukum anaknya.
c. Terjadi ketidak kompakan atara guru yang satu dengan guru yang lainnya.

4. Tidak menghukum anak atas perbuatan baiknya.
Dalam buku Tanzibul Akhlak yang dikarang oleh Ibnu Maskawih “ Seorng anak hendaknya diberi pujian dan dihargai saat menampilkan aklak mulia dan melakukan pekerjaan yang baik”

Meskipun demikian, pada sejumlah kasus pendidik atau oang tua justru menghukun anak secara tidak langsung saat melakukan hal-hal yang positif, bukan mendukungnya atau menghargainya. Berikut ini adalah beberapa contoh tentang hal itu.

Anisa ingin membuat kejutan kepada ibu gurunya disekolah dengan mengerjakan PR melebihi dari apa yang diperintahkan oleh guru tersebut, namun setelah PR tersebut ditunjukkan kepada ibu gurunya, ia tidak menghargai atas apa yang ia kerjakan malah mengatakan” saya hanya memerintahkan mengerjakan halaman sekian…., kenapa dikerjakan begitu banyak, kan belum ibu ajarkan!”

Jawaban ibu guru seperti itu sesungguhnya merupakan hukuman, bukan imbalan dengan cara seperti itu si ibu guru tidak mengakui inisiatif baik muridnya. Secara tidak langsung ia telah mengecam perbuatan baik itu dengan mempersalahkan muridnya.

Tono anak kelas empat SD. Menyodorkan buku raportnya yang bernilai baik kepada bapaknya yang tengah membaca Koran. Sambil terseyum si anak menghampiri ayahnya seraya mengatakan “ayah ini hasil yang ku peroleh tahun ini, pasti ayah senang.” Namun alih-alih menghentikan membaca Koran, memuji atau menghargai anak si ayah malah menyuruhnya pergi kepada ibunya untuk menanyakan kapan makan siang siap, sambil minta maaf bahwa ia sedang membaca berita penting.

Dari berberapa contoh diatas masih banyak orang tua atau pendidik yang pelit memberikan pujian kepada anak-anaknya yang menampilkan perilaku baik. Mungkin dengan dalih kesibukan bekerja sehari-hari sehingga mereka tidak mempunyai waktu untuk memperhatikan perilaku anak-anaknya. Mungkin juga mereka memiliki anggapan yang salah bahwa kewajiban anak atau murid untuk menampilkan perilaku yang baik tidak memerlukan imbalan. Seorang murid perempuan yang ingin menunjukkan inisiatif yang baik dengan mengerjakan PR melebihi dari apa yang ia perintahkan tidak memperoleh respon positif dari gurunya kemungkinan besar tidak lagi memiliki semangat untuk mengerjakan PR yang diperintahkan oleh ibu gurunya di kemudian hari. Anak yang mendapat kecaman gara-gara hanya mendapat nilai 9, bukan 10 kemungkinan tidak akan mau lagi melapor kepada orangtuanya, bahkan mungkin tidak lagi mempunyai semangat untuk belajar.

Agar tidak terjadi, kita harus menghindari menghukum anak/murid secara tidak langsung atas perbuatan baiknya. Hendaknya kita selalu ingat bahwa imbalan dan dukungan merupakan salah sutu sarana penting untuk membantu anak agar mampu belajar berperilaku baik. Tujuannya agar mereka berani belajar sendiri dan meningkatkan kepribadiannya.

5. Menghukum perilaku buruk anak
Anak yang berprilaku buruk hendaknya diberi hukuman dan tidak membiarkannya berlarut-larut sehingga, anak tidak mengetahui mana perbuatan baik dan mana yang tidak.

Pada suatu hari Ibu Sinta melihat dua murid sedang berkelahi, kemudian ia ditegur oleh kepala sekolah “kenapa ibu tidak menghentikan perkelahian itu?” dia menjawab “Dia sering berkelahi seperti itu saya sampai bosan melerainya. Nanti mereka juga baik lagi. Namanya juga anak-anak.”

Sikap pantang memberi hukuman, baik fisik maupun hukuman lainnya, terhadap kesalahan yang dibuat oleh anak atau murid adalah sebuah kesalahan besar.

6. Tidak memberikan isyarat negatif
Bila kita mengatakan kepada anak kita atau murid kita “Kamu anak yang nakal atau Kamu anak yang tukang bikin rebut dikelas atau kamu anak yang tidak patuh.” Si anak akan menganggap ungkapan itu sebagai mana gambaran sebenarnya tentang dirinya. Kemudian ia akan merasa benar jika ia melakukan sesuatu yang sesuai dengan julukan yang disandangkan kepada dirinya. Sebaliknya, jika kita mengatakan padanya, “anak baik seperti kamu tidak akan melakukan perbuatan seburuk itu” atau “kamu adalah anak berani, berakhlak dan terpelajar” semua itu memberikan isyarat positif yang baik bagi anak/murid kita.

Oleh karena itu, kita harus selalu menggunakan isyarat-isyarat positif terhadap anak/murid kita. Masih banyak guru/orangtua yang membicarakan perihal anaknya sedangkan si anak mendengar percakapan itu. Lain halnya jika yang dibicarakan itu hal-hal positif tentang anak.

Demikian tulisan ini saya buat agar mejadikan sedikit lilin penerang bagi pendidik ataupun orang tua atau bagi siapapun yang concern terhadap pendidikan anak.

Semuanya hanya kita kembalikan kepada Allah Swt. Beliau adalah maha sempurna, maha mengetahui alam beserta isinya. Mudah-mudahan kita semua dalam lindungaNya.
Amin.

Jakarta, 29 Februari 2008


Penulis


Daftar Pustaka
1. Dimas Rasyid Muhammad Langkah Salah Dalam Mendidik Anak Syaamil Cipta Media Bandung 2005
2. Wyckoff Jerry and Unnel C Barbara Discipline without Shouting and Spanking Bina Rupa Aksara 1996.
3. Subiyanto Paul Mendidik dengan Hati Elex Media Komputindo 2004.

ETHOS KERJA

By : Budiman H, SE

Berbicara mengenai ethos kerja, pasti kita tidak lepas dari sifat dan sikap manusia yang terlalu kompleks, untuk dapat dianalisis satu persatu, dan perlu ditekankan lagi bahwa suasana ini dipahami dalam arti baik secara moral.
“Ethos” ini disifatkan sebagai Characteristic Spirit of Community People or System ( suasana khas yang menandai suatu kelompok, bangsa atau sistem )
“Sikap“ adalah suatu kepribadian seseorang dalam menunjang tugas/pekerjaannya sehari – hari.
Maka orang yang bekerja perlu mensyukurinya bahwa ada delapan (8) Ethos Kerja (kutipan Jansen H dalam bukunya etos kerja) antara lain:


1. Kerja adalah Rahmat
Bekerja tulus penuh syukur
2. Kerja adalah Amanah
Bekerja benar penuh tanggung jawab
3. Kerja adalah Panggilan
Bekerja tuntas penuh integritas
4. Kerja adalah Aktualitas
Bekerja keras penuh dengan semangat
5. Kerja adalah Ibadah
Bekerja serius penuh kecintaan
6. Kerja adalah Seni
Bekerja penuh kreatifitas
7. Kerja adalah Pelayanan
Bekerja penuh dengan kerendahan hati
8. Kerja adalah Kehormatan
Bekerja dengan tekun penuh dengan keunggulan


Dengan sifat – sifat mencerminkan ethos kerja yang baik yaitu :
Disiplin, efektif, efisien, fokus, jujur, jeli, konsisten, teratur, terkendali, sabar, semangat, tepat waktu, tekun, aktif, ceria, dan sebagainya

Senin, 03 Maret 2008

Pemerintah akan Angkat 110 Ribu Guru Bantu Diangkat Tanpa Test

Semarang, 5-9-2007. Pemerintah akan mengangkat 110 ribu guru bantu menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) tanpa melalui test seleksi, hanya melalui penyaringan bersifat administratif dan kesehatan.

"Sama sekali tanpa test. Sebab, kalau dengan test mereka pasti kalah dengan yang baru-baru," kata anggota Komisi X (Bidang Pendidikan) DPR RI, Drs H. Munawar Sholeh, MM di sela-sela sarasehan "Menuju Anggaran Pendidikan 20 persen untuk Jawa Tengah" di Gedung Berlian Semarang, Senin (05/09).

Menurut dia, pemerintah sudah melakukan kesepakatan dengan Komisi X DPR RI untuk mengangkat sekitar 300 ribu PNS baru tahun depan, dan dari jumlah tersebut 110 ribu di antaranya dialokasikan untuk guru bantu.

Menyinggung soal persyaratan, Munawar yang juga Ketua DPW PAN Jateng itu mengatakan, untuk usia maksimal 46 tahun, dan soal pendidikan tidak dipermasalahkan.

"Kami tidak mempermasalahkan pendidikannya, tapi yang jelas sudah punya SK Guru Bantu dulu," katanya. Bagi DPR RI, khususnya Komisi X yang membidangi pendidikan, guru bantu yang sudah bertugas di daerah terpencil atau di sekolah-sekolah swasta, kalau nanti sudah diangkat menjadi CPNS atau pegawai negeri tidak boleh ditarik.

"Mereka harus tetap di situ, tidak boleh ditarik di sekolah negeri atau sekolah lainnya yang bergensi. Ini kesepakatan-kesepakatan yang penting menurut saya," kata wakil rakyat asal daerah pemilihan Jateng itu.

Sementara itu Ketua Komisi E (Bidang Kesra) DPRD Jateng, Drs HM Iqbal Wibisono, SH. MH menyebutkan di Jateng terdapat sekitar 24 ribu guru bantu yang sudah cukup lama mengabdi. Dengan adanya kebijakan pemerintah untuk mengangkat guru bantu tanpa test, menurut dia, sangat menguntungkan bagi para guru bantu.

Untuk itu ke 24 ribu guru bantu yang ada di Jateng tersebut harus bisa diangkat menjadi PNS semua, sehingga masalah guru bantu bisa terlesaikan dan pemerintah bisa konsentrasi kepada puluhan ribu guru swasta yang belum diangkat dan kalangan pegawai honorer.

Iqbal yang juga Wakil Ketua DPD Partai Golkar Jateng itu mengakui kebijakan pemerintah tersebut sangat berpihak kepada kalangan guru bantu. Kebijakan tersebut sebenarnya juga tidak terlepas dari kebaijakan pemerintah sebelumnya yang berniat untuk mengangkat guru bantu menjadi PNS.

"Supaya tidak menimbulkan kecemburuan antar guru bantu, saya berharap seluruh guru bantu bisa diangkat meski dilakukan secara bertahap. Sehingga diharapkan 2007 nanti sudah tidak ada lagi guru bantu di Jateng, dan pemerintah tinggal memikirkan nasib karyawan honorer dan guru swasta," katanya.

Namun, lanjut Munawar Sholeh, kebijakan pemerintah bersama DPR RI untuk mengangkat guru bantu menjadi PNS diterjemahkan lain oleh beberapa kepada daerah (Bupati/Walikota).

"Ya telah terjadi distorsi informasi di daerah, sehingga ada yang menterjemahkan pengangkatan PNS tanpa test juga berlaku untuk kalangan pegawai honorer di Pemda," katanya.

Pada kesempatan itu dia menegaskan bahwa 110 ribu orang yang akan diangkat sebagai PNS tanpa melalui test tersebut hanya untuka kalangan guru bantu, bukan untuk yang lain.

"Jika sampai ada Bupati/Walikota yang memanfaatkan kebaijakan pemerintah pusat ini untuk mengangkat karyawan honorer tanpa test, bukan guru bantu, kami akan menuntut Bupati/Walikota bersangkutan," katanya.

Targetnya, dalam jangka waktu dua-tiga tahun ke depan, masalah guru bantu yang jumlahnya 200.321 orang itu sudah akan selesai dan semuanya bisa diangkat menjadi PNS tanpa melalui test.

Sedangkan untuk pengangkatan PNS dari kalangan lain seperti tenaga honorer dan masyarakat umum tetap akan dilakukan dengan cara yang fair (adil), yaitu tetap melalui test dan penyaringan lainnya.

Pengankatan Guru Bantu mulai 2007, Kenaikkan Gaji PNS mulai 2008

Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) Taufiq Effendi, Senin (28/5) menegaskan pada tahun 2007 semua guru bantu akan diangkat menjadi guru calon pegawai negeri sipil.

Menurut Taufiq, jumlah pegawai negeri sipil mencapai 3,6 juta orang. Kebih dari dua juta orang diantaranya adalah guru. Setelah semua guru diangkat, baru tenaga bidang lain seperti kesehatan akan diangkat.

“Penerimaan calon pegawai negeri sipil tahun 2007 yang dimulai bulan Agustus akan diangkat bulan Oktober. Jadi sekarang prosesnya cepat terutama tenaga pendidik dan kesehatan,” kata Taufiq.

Taufiq mengatakan, 920.000 tenaga honorer selama bertahun-tahun setelah dizalami telah dizalimi dan dimarginalkan. Para tenaga honorer telah mengabdi selama belasan sampai puluhan tahun namun belum juga diangkat. Ada tenaga honorer yang dibayar Rp 20.000 bahkan ada yang dibayar dengan kelapa.

“Jika daerah ingin mengusulkan formasi pegawai negeri sipil silahkan, rapi harus jelas penempatannya. Misalnya permintaan formasi perawat harus jelas rumah sakit atau puskesmasnya dan ada surat permintaan dari dokter. Ini supaya transparan,” ujar Taufiq.

Menurut Taufiq, saat ini kementrian PAN dan Departemen Keuangan sedang menyusun sistem penggajian nasional. Gaji terendah pegawai negeri sipil diupayakan terus naik dari Rp 1.060.000 tahun 2006 menjadi 1.200.000 pada tahun 2007. Pada tahun 2008 gaji terendah pegawai negeri sipil akan dinaikkan lagi namun Taufiq enggan menyebutkan jumalhnya.
Sumber: kompas.com

Pantun SBY buat Guru

"Berlayar kita ke Pulau Rupat. Memandang lepas ke arah Pekan Baru. Bila kita ingin maju dan bermartabat, mari kita tingkatkan pendidikan dan peran guru."

KUTIPAN berirama pantun itu meluncur dari mulut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono disela-sela pidato yang disampaikannya pada acara Puncak Hari Guru Nasional 2007 serta HUT ke-62 PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) di Rumbai Hall Sport Centre, Pekan Baru, Riau, kemarin (25/11).

Rupanya, Presiden cerdas pula melempar pantun yang bagi sebagian besar masyarakat Riau sudah menjadi tradisinya.

Lantunan pantun yang menyanjung keberadaan guru itu pun menuai aplaus ribuan guru yang memadati ruangan itu. Memang, dalam setiap bait pidatonya, Presiden begitu menyanjung-nyanjung profesi guru. Di awal pidatonya, Presiden mengatakan, dirinya bangga saat mengenakan seragam batik PGRI. Kostum kebesaran guru itu pun dipakai oleh semua rombongan yang ikut Presiden ke Riau.

"Semoga pelita yang kita lihat di kanan kiri kita dan di dada Saudara, menerangi kehidupan bangsa Indonesia, menuntun perjalanan bangsa menuju masa depan yang lebih baik," kata Presiden sambil memegang batiknya.

Lalu, Presiden pun bercerita pengalamannya saat menjadi guru. Rupanya, 30 tahun lalu, sekitar tiga tahun pertama saat bertugas di lingkungan TNI, Presiden SBY pernah menjadi guru militer.

"Tiga tahun sebagai dosen, saya juga pernah mengikuti pendidikan PGSLP di Malang. Karena itu kita semua mencintai profesi guru, kita semua berterima kasih atas pengabdian para guru yang mengantarkan kita semua ke masa depan menuju cita-cita kita," lanjutnya.

Setiap memperingati hari guru, Presiden mengaku bersyukur dan berterima kasih kepada guru yang tulus dalam meningkatkan perannya di dunia pendidikan di seluruh Tanah Air.

"Namun, kalau kita menyayangi guru, kalau kita mencintai guru, apakah kita peduli pada kesejahteraan guru?" tanya Presiden.

Menurut Presiden, bangsa ini harus peduli dan terus menerus meningkatkan kesejahteraan dan kemampuan guru sesuai dengan kemampuan keuangan negara, kemampuan anggaran pusat maupun daerah.

Tetapi, Presiden mengingatkan, bahwa dirinya sebagai pemimpin juga harus adil. Di hadapan ribuan guru, Presiden mengaku dirinya sering menerima SMS, telepon, atau menerima surat yang datang dari sejumlah kalangan.

"Isinya Pak SBY, kami kaum petani, tolong diperhatikan. Lalu, lain kali, kami para nalayan jangan dilupakan, kami para buruh tolong diingat, kami para petugas kesehatan di daerah terpencil tolong dipikirkan," ceritanya. Karena itu, kepada para guru, Presiden mengatakan dirinya harus adil.

Namun, Presiden menegaskan, kesejahteraan guru tetap diprioritaskan. Presiden juga menyerukan agar para menteri, gubernur, wali kota/bupati untuk bersatu meningkatkan pendidikan dan kesejahteraan guru dengan mengalokasikan anggaran dari sumber daya lain yang pantas, sesuai kemampuan negara, baik pemerintah pusat atau daerah.

Presiden juga menghimbau agar tidak melarang para guru menyampaikan aspirasi. Namun, dia meminta untuk menyampaikan aspirasi itu kepada pemerintah, para guru tidak melakukannya dengan demonstrasi. "Kalau para guru demo, terus yang ngajar siapa? Jadi, muridnya bingung," kata Presiden.

Dalam kesempatan itu, Presiden sebelumnya memberikan penghargaan Satyalencana Pembangunan kepada 12 kepala daerah dan penghargaan Satyalancana pendidikan kepada 14 orang tenaga pengajar yang telah memberikan kontribusi bagi pengembangan pendidikan di daerahnya masing-masing.

Usai memberikan sambutan, Presiden menandatangani prasasti, didampingi Mendiknas Bambang Sudibyo, Gubernur Riau Rusli Zainal dan Ketua PGRI, Muhammad Surya.

Tampak hadir dalam rombongan SBY dalam kunjungan kerjanya ke Pekan Baru ini antara lain Ketua DPD Ginanjar Kartasasmita, Menko Kesra Aburizal Bakrie, Mensesneg Hatta Rajasa, Seskab Sudi Silalahi, Menag Maftuh Basyuni, Menneg Pendayaangunaan Aparatur Negara Taufik Effendi, Meneg Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, Meneg PDT Lukman Edy, dan Jubir Presiden, Andi Mallarangeng.

Ketua Umum PGRI, Prof DR M Surya dalam sambutannya mengatakan, kehadiran Presiden pada acara ini menambah rasa optimistis para guru, sekaligus pencerahan bagi guru.

"Sejak 2004, Presiden SBY telah mencanangkan jabatan guru sebagai profesi. Kami juga mengharapkan finalisasi PP tentang Guru sebagai Peraturan Pelaksana dari UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen," kata Surya.

Dalam kesempatan itu, Surya juga mengatakan, guru akan berpartisipasi untuk melestarikan lingkungan dengan menanam satu pohon untuk satu guru. Dalam acara itu, penyerahan pohon secara simbolis diserahkan Surya kepada Meneg Kelestarian Lingkungan Hidup (KLH) Rachmat Witoelar.

Menjadi Contoh

Saat berpidato, Presiden agaknya mengkritik sejumlah elit politik yang dianggap sebagai pemimpin namun kerap mengeluarkan pernyataan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Kepala Negara menilai, para pemimpin juga merupakan guru sehingga harus dapat memberikan contoh yang baiknya yang akhirnya akan diikuti rakyatnya. Apalagi, seseorang pemimpin tersebut dikenal sebagai guru bangsa yang bagi banyak kalangan sangat sulit mendapat gelar tersebut.

"Itu (guru bangsa, red) harus lebih lagi dipersyaratkan untuk berpikir dan berbuat demi masyarakat dan bangsanya. Lebih mawas diri ketimbang melihat orang lain apalagi dengan kebiasaan, kebahagiaan dalam menyalahkan dan mengkritik secara berlebihan seolah olah semua mereka (dianggap, red) salah," tegas Presiden.

Presiden menilai, pemimpin pada hakikatnya juga seorang guru yang tidak harus menjadi Guru Bangsa, Bapak Bangsa atau Ibu Bangsa. Karena itu, ucapan seorang pemimpin atau seorang guru harus dapat dipercaya karena benar, faktual, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga dapat menjadi contoh, yang ahirnya diikuti oleh anak didiknya .

Presiden juga mengingatkan, sebagai seorang guru, pemimpin yang baik harusnya lebih mawas diri, menerapkan ilmu padi yang makin berilmu makin merunduk. Selain sebagai guru, lanjut Presiden, pemimpin juga harus bisa menjadi murid karena manusia tidak ada yang sempurna.

Presiden sendiri mengaku, setiap hari dirinya, termasuk pemimpin-pemimpin lainnya melakukan perbaikan diri, menyempurnakan kepribadian dan memantapkan langkah untuk mencapai hari esok yang lebih baik.

"Saya mengajak semua pemimpin di negeri ini, untuk belajar menjadi guru yang baik sekaligus menjadi murid yang baik, dan untuk melakukan hal hal yang baik pula."

Presiden juga meminta agar pemimpin menjadi pengayom untuk memajukan rakyat, tanpa melihat ada perbedaan agama, suku, etnis, daerah atau berbeda dalam partai politik. "Semua harus disayangi. Semua harus dicintai. Semua harus adil. Itulah pemimpin. Jangan kita senang mengotak-ngotakan karena berbeda partai," tegasnya lagi.

Kepada PGRI, Presiden menegaskan, dengan segala tantangan dan keterbatasan dana, pemerintah akan terus meningkatkan pendidikan karena Indonesia ingin menjadi bangsa maju yang bermartabat.

"Kita ingin menjadi bangsa dan manusia yang unggul, berdaya saing. Hidup lebih baik. Dan kita ingin menyumbangkan sesuatu untuk masyarakat kita. Adakah yang ingin menjadi bangsa maju dan menang dalam globalisasi?" tanya Presiden.

Untuk itu, peran guru dalam pendidikan harus ditingkatkan. Pemerintah akan terus meningkatkan kesejahteraan guru agar makin profesional.

"Bangsa ini harus terus melangkah ke depan. Meski ujian dan tantangan tidak ringan. Tetapi saya yakin, apabila pendidikan diperluas, maka arah perjalanan bangsa akan mencapai tujuan yang diharapkan bersama."

Presiden mengingatkan sejumlah tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia. Di era globalisasi ini, persaingan antarbangsa dan persaingan di dalam negeri akan semakin ketat sehingga perlu dtingkatkan kemampuan pengetahuan, skill, keuletan atau tidak mudah menyerah sehingga dalam persaingan akan menang.

Peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia yang belum tinggi menjadi tantangan sehingga perlu terus diberdayakan manusia Indonesia untuk mengurangi ketergantungan kepada pemerintah, sekaligus mengurangi kemiskinan.

Selain itu, Indonesia juga dituntut untuk dapat memberdayakan pontesi dan sumberdaya alam yang ada. "Kalau begini (tidak diolah, red) maka terus akan merugi, sehingga perlu diberdayakan dengan manajemen yang baik."

Presiden juga mengharap agar kalangan pendidikan dapat membentuk SDM yang inovatif dan kreatif untuk memajukan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

M. Yamin Panca Setia

Presiden SBY dan Ibu Negara menyapa para undangan pada acara peringatan Hari Guru serta HUT ke 62 PGRI di di Rumbai Hall Sport Centre, Pekan Baru, Riau, Minggu (25/11) pagi. (foto: muchlis/presidensby.info)

Usia Anak Siap Masuk TK

Ada bebrapa kriteria atau tanda-tanda seorang anak usia prasekolah siap untuk memasuki jenjang pendidikan berikutnya, yaitu :

Keterampilan bersosialisasi
Keterampilan bersosialisasi meliputi kemampuan anak berempati terhadap orang lain, berinteraksi sosial, berbagi (sharing), dan berpartisipasi dalam kegiatan kelompok.

Kemampuan mengikuti instruksi sederhana,
Seperti patuh terhadap aturan yang ditetapkan diluar keluarganya.

Kemampuan berkomunikasi
Minimal si kecil mampu menyampaikan kebutuhan dan keinginan secara verbal, kemampuan menyebut nama dirinya, mampu menyimak cerita atau penjelasan yang dibacakan.

Kemandirian berupa keterampilan self help and self care
Keterampilan Self help yaitu dapat menggunakan toilet ketika mau buang air, mengenakan pakaian sendiri, ditandai dengan kemampuan mengancing baju atau menggunakan zipper.
Sedangkan keterampilan self care untuk hal yang sederhana, misalnya makan sendiri, ambil minum sendiri.

Siap dan kuat secara fisik
Untuk menjadi siswa TK, si kecil harus mampu mengikuti jadwal dan kegiatan tertentu, juga tahan tidak tidur selama paling tidak 4 jam selama di TK. Kesiapan fisik ini antara lain ditandai dengan anak dapat mengatasi rasa kantuk atau lelah tanpa menjadi rewel.

Siap secara psikologis
Anak yang sudah matang, tidak akan menemui masalah ketika harus berpisah dari ibu atau pengasuhnya pada jam-jam sekolah. Si kecil juga mampu memusatkan perhatian dan mengikuti jadwal rutin setiap hari.

Dari penjabaran poin-poin di atas, tidak jarang anak sudah siap dalam satu hal tetapi tidak dalam hal lain. Setidaknya ada beberapa poin yang dimiliki si kecil. Misalnya tidak masalah si kecil belum mampu bersosialisasi karena ruang lingkup bermainnya selama ini hanya di rumah, tapi dalam aspek kemandirian dan kemampuan berkomunikasi sudah siap. Poin-poin yang belum dimiliki si kecil bisa diasah dan dilatih mulai sekarang, agar si kecil siap bersekolah di TK.

Kesiapan si kecil masuk TK, sangat tergantung pada orang tua. Orang tua harus melatih si kecil untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya diluar kelompok bermainnya.

Latihan bersosialisasi:
Untuk latihan bersosialisasi bisa mengundang teman-temannya main ke rumah atau mengajak si kecil untuk berkunjung ke tetangga atau saudara yang mempunyai anak kecil juga. Sediakan alat-alat gambar dan kertas,biarkan mereka melakukan aktifitas dan berkreasi sendiri, belajar berbagi menggunakan alat gambar.

Latihan kemandirian:
Ajarkan si kecil dalam mengenakan pakaian sendiri. Latih dan motivasi untuk mengenakan sendiri celana, ajarkan dengan tepat membuka dan menutup ritsleting, mengancingkan sendiri kemejanya. Ajarkan si kecil cara buang air besar dan kecil, dan cara membersihkan diri setelah melakukannya secara bertahap.

Latihan kemampuan berkomunikasi:
Biasakan anak mengungkapkan keinginan, Kebutuhan, dan perasaannya secara verbal. Latih juga sikecil untuk menceritakan kembalo dongen atau cerita yang anda bacakan.

Latihan mengikuti jadwal rutin:
Ajak si kecil makan atau tidur siang diwaktu yang sama secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama. Tujuannya agar terbentuk “jam otomatis” atau kebiasaan yang membuatnya siap makan atau tidur pada waktunya. Ketika saatnya masuk TK, yang mempunyai jadwal rutin, anak sudah terbiasa.

Walaupun keliahatannya sepele, latihan-latihan ini merupakan usaha yang efektif untuk melatih keterampilan dan kesiapan si kecil untuk memasuki “dunia baru” di akhir masa balitanya.

Cermati dan Evaluasi
Awali dengan mencermati apa si kecil siap bersekolah. Artinya bila anak sulit melakukan rutinitas bersekolah, bisa diajarkan secara bertahap. Untuk anak tertentu, misalnya hiperaktif atau autis, perlu sekolah khusus.

Selanjutnya, apakah sekolah yang dipilih sesuai dengan nilai-nilai yang dikembangkan dalam diri anak? Selaraskan pendidikan di sekolah tersebut dengan nilai-nilai yang ingin dikembangkan keluarga, misalnya pada pendidikan agama.

Bagaimana ragam aktivitas yang ditawarkan? Apakah kurikulum sekolah sesuai dengan perkembangan usia anak TK atau tidak? Apakah anak dipaksa belajar membaca, menulis atau mengerjakan pekerjaan rumah? Bagaimana penerapan disiplin di sekolah, kaku/otoriter atau fleksibel?

Ketika sekolah yang dipilih dikemudian hari tidak sesuai harapan, sebaiknya orang tua melakukan evalusai. Apakah ketidaksesuaian tersebut benar-benar tidak bisa dikompromikan antara pihak orang tua dan sekolah.

Bila tidak ada titik temu, bisa saja memindahkan anak sekolah lain, bila memungkinkan.. Idealnya, pindah sekolah dilakukan saat semester baru, sehingga anak memiliki kesempatan beradaptasi dengan lingkungan baru.

Ditulis oleh Ibu Yanti dan Ibu Nurfaedah
disadur dari Tabloid Ayah Bunda

Sikap Dan Perilaku Guru Yang Profesional

Oleh : Rustantiningsih
Guru di SDN Anjasmoro 02 Semarang
Topik : Pendidikan Sikap
Tanggal : 3 Agustus 2007

Guru merupakan sosok yang begitu dihormati lantaran memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pembelajaran di sekolah. Guru sangat berperan dalam membantu perkembangan peserta didik untuk mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal. Ketika orang tua mendaftarkan anaknya ke sekolah, pada saat itu juga ia menaruh harapan terhadap guru, agar anaknya dapat berkembang secara optimal (Mulyasa, 2005:10).

Minat, bakat, kemampuan, dan potensi peserta didik tidak akan berkembang secara optimal tanpa bantuan guru. Dalam kaitan ini guru perlu memperhatikan peserta didik secara individual. Tugas guru tidak hanya mengajar, namun juga mendidik, mengasuh, membimbing, dan membentuk kepribadian siswa guna menyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia (SDM).

Ironisnya kekawatiran di dunia pendidikan kini menyeruak ketika menyaksikan tawuran antar pelajar yang bergejolak dimana-mana. Ada kegalauan muncul kala menjumpai realitas bahwa guru di sekolah lebih banyak menghukum daripada memberi reward siswanya. Ada kegundahan yang membuncah ketika sosok guru berbuat asusila terhadap siswanya.

Dunia pendidikan yang harusnya penuh dengan kasih sayang, tempat untuk belajar tentang moral, budi pekerti justru sekarang ini dekat dengan tindak kekarasan dan asusila. Dunia yang seharusnya mencerminkan sikap-sikap intelektual, budi pekerti, dan menjunjung tinggi nilai moral, justru telah dicoreng oleh segelintir oknum pendidik (guru) yang tidak bertanggung jawab. Realitas ini mengandung pesan bahwa dunia guru harus segera melakukan evaluasi ke dalam. Sepertinya, sudah waktunya untuk melakukan pelurusan kembali atas pemahaman dalam memposisikan profesi guru.

Kesalahan guru dalam memahami profesinya akan mengakibatkan bergesernya fungsi guru secara perlahan-lahan. Pergeseran ini telah menyebabkan dua pihak yang tadinya sama-sama membawa kepentingan dan salng membutuhkan, yakni guru dan siswa, menjadi tidak lagi saling membutuhkan. Akibatnya suasana belajar sangat memberatkan, membosankan, dan jauh dari suasana yang membahagiakan. Dari sinilah konflik demi konflik muncul sehingga pihak-pihak didalamnya mudah frustasi lantas mudah melampiaskan kegundahan dengan cara-cara yang tidak benar.

Untuk itulah makalah ini saya susun sebagai bahan kajian bagi guru atau pendidik agar dapat berperilaku dan bersikap profesional dalam menjalankan tugas mulia ini.

1. Bagaimana sikap dan perilaku guru yang profesional itu?
2. Mengapa sikap dan perilaku guru bisa menyimpang?

Tujuan maklah ini adalah untuk:
a. Mendeskripsikan penyebab sikap dan perilaku guru bisa menyimpang.
b. Mendeskripsikan sikap dan perilaku guru yang profesional.

Manfaat penyusunan makalah ini secara:
a. Teoretis, untuk mengkaji sikap dan perilaku guru yang profesional.
b. Praktis, bermanfaat bagi: (1) para pendidik agar pendidik dapat bersikap dan berperilaku profesional, (2) para kepala sekolah, untuk memberikan pembinaan kepada para pendidik.

Konsep Dasar Sikap dan Perilaku
Thursthoen dalam Walgito (1990: 108) menjelaskan bahwa, sikap adalah gambaran kepribadian seseorang yang terlahir melalui gerakan fisik dan tanggapan pikiran terhadap suatu keadaan atau suatu objek. Berkowitz, dalam Azwar (2000:5) menerangkan sikap seseorang pada suatu objek adalah perasaan atau emosi, dan faktor kedua adalah reaksi/respon atau kecenderungan untuk bereaksi. Sebagai reaksi maka sikap selalu berhubungan dengan dua alternatif, yaitu senang (like) atau tidak senang (dislike), menurut dan melaksanakan atau menjauhi/menghindari sesuatu.

Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa sikap adalah kecenderungan, pandangan, pendapat atau pendirian seseorang untuk menilai suatu objek atau persoalan dan bertindak sesuai dengan penilaiannya dengan menyadari perasaan positif dan negatif dalam menghadapi suatu objek.

Struktur sikap siswa terhadap konselor terdiri dari tiga komponen yang terdiri atas:

Komponen kognitif
Komponen ini berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, dan keyakinan tentang objek. Hal tersebut berkaitan dengan bagaimana orang mempersepsi objek sikap.

Komponen afektif
Komponen afektif terdiri dari seluruh perasaan atau emosi seseorang terhadap sikap. Perasaan tersebut dapat berupa rasa senang atau tidak senang terhadap objek, rasa tidak senang merupakan hal yang negatif.. komponen ini menunjukkan ke arah sikap yaitu positif dan negatif. Komponen afektif menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap (Azwar, 2000:26), secara umum komponen afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. Namun pengertian perasaan pribadi seringkali sangat berbeda perwujudannya bila dikaitkan dengan sikap.


Komponen konatif
Komponen ini merupakan kecenderungan seseorang untuk bereaksi, bertindak terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap. Komponen-komponen tersebut di atas merupakan komponen yang membentuk struktur sikap. Ketiga komponen tersebut saling berhubungan dan tergantung satu sama lain. Saling ketergantungan tersebut apabila seseorang menghadapi suatu objek tertentu, maka melalui komponen kognitifnya akan terjadi persepsi pemahaman terhadap objek sikap. Hasil pemahaman sikap individu mengakui dapat menimbulkan keyakinan-keyakinan tertentu terhadap suatu objek yang dapat berarti atau tidak berarti. Dalam setiap individu akan berkembang komponen afektif yang kemudian akan memberikan emosinya yang mungkin positif dan mungkin negatif. Bila penilaiannya positif akan menimbulkan rasa senang, sedangkan penilaian negatif akan menimbulkan perasaan tidak senang. Akhirnya berdasarkan penilaian tersebut akan mempengaruhi konasinya, melalui inilah akan mendapat diketahui apakah individu ada kecenderungan bertindak dalam bertingkah laku, baik hanya secara lisan maupun bertingkah laku secara nyata.

Katz (dalam Walgito, 1990:110) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai empat fungsi, yaitu:

Fungsi instrumental atau fungsi penyesuaian, atau fungsi manfaat.
Fungsi ini berkaitan dengan sarana tujuan. Di sini sikap merupakan sarana untuk mencapai tujuan. Orang memandang sampai sejauh mana objek sikap dapat digunakan sebagai sarana dalam mencapai tujuan. Bila objek sikap dapat membantu seseorang dalam mencapai tujuannya, maka orang akan bersikap positif terhadap objek sikap tersebut. Demikian sebaliknya bila objek sikap menghambat dalam pencapaian tujuan, maka orang akan bersikap negatif terhadap objek sikap tersebut. Fungsi ini juga disebut fungsi manfaat, yang artinya sampai sejauh mana manfaat objek sikap dalam mencapai tujuan. Fungsi ini juga disebut sebagai fungsi penyesuaian, artinya sikap yang diambil seseorang akan dapat menyesuaikan diri secara baik terhadap sekitarnya.

Fungsi pertahanan ego
Ini merupakan sikap yang diambil oleh seseorang demi untuk mempertahankan ego atau akunya. Sikap diambil seseorang pada waktu orang yang bersangkutan terancam dalam keadaan dirinya atau egonya, maka dalam keadaan terdesak sikapnya dapat berfungsi sebagai mekanisme pertahanan ego.

Fungsi ekspresi nilai
Sikap yang ada pada diri seseorang merupakan jalan bagi individu untuk mengekspresikan nilai yang ada dalam dirinya. Dengan mengekspresikan diri seseorang akan mendapatkan kepuasan dan dapat menunjukkan keadaan dirinya. Dengan mengambil nilai sikap tertentu, akan dapat menggambarkan sistem nilai yang ada pada individu yang bersangkutan.


Fungsi pengetahuan
Fungsi ini mempunyai arti bahwa setiap individu mempunyai dorongan untuk ingin tahu. Dengan pengalamannya yang tidak konsisten dengan apa yang diketahui oleh individu, akan disusun kembali atau diubah sedemikian rupa sehingga menjadi konsisten. Ini berarti bila seseorang mempunyai sikap tertentu terhadap suatu objek, menunjukkan tentang pengetahuan orang tersebut objek sikap yang bersangkutan.

Proses timbulnya atau terbentuknya sikap dapat dilihat pada bagan sikap berikut ini:
Proses timbulnya atau terbentuknya sikap dapat dilihat pada bagan sikap berikut ini:

Faktor Internal
- Fisiologis
- Psikologis
Objek Sikap
Sikap
Faktor Eksternal
- Pengalaman
- Situasi
- Norma-norma
- Hambatan
- Pendorong
Reaksi

Bagan Proses Timbulnya Sikap
Dari bagan di atas tersebut dapat dikembangkan bahwa sikap yang ada pada diri seseorang akan dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu faktor fisiologis dan psikologis serta faktor eksternal. Faktor eksternal dapat berwujud situasi yang dihadapi oleh individu, norma-norma yang ada dalam masyarakat, hambatan-hambatan atau pendorong-pendorong yang ada dalam masyarakat. Semuanya ini akan berpengaruh terhadap sikap yang ada pada diri seseorang.

Sementara itu reaksi yang diberikan individu terhadap objek sikap dapat bersifat positif, tetapi juga dapat bersifat negatif. Sikap yang diambil pada diri individu dapat diikuti dalam bagan berikut ini:

* Keyakinan
* Proses Belajar
* Cakrawala
* Pengalaman
* Pengetahuan
* Objek Sikap
* Persepsi
* Faktor- Faktor lingkungan yang berpengaruh
* Kepribadian
* Kognisi
* Afeksi
* Konasi
* Sikap




Bagan Perseps dikutip dari Mar'at (1982:23) dengan perubahan.
Dilihat dari bagan di atas dapat dijelaskan bahwa sikap akan dipersepsi oleh individu dan hasil persepsi akan dicerminkan dalam sikap yang diambil oleh individu yang bersangkutan. Dalam persepsi objek sikap individu akan dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, keyakinan, proses belajar, dan hasil proses persepsi ini akan merupakan pendapat atau keyakinan individu mengenai objek sikap dan ini berkaitan dengan segi kognisi. Afeksi akan mengiringi hasil kognisi terhadap objek sikap sebagai aspek evaluatif, yang dapat bersifat positif atau negatif. Hasil evaluasi aspek afeksi akan mengait segi konasi, yaitu merupakan kesiapan untuk memberikan respon terhadap objek sikap, kesiapan untuk bertindak dan untuk berperilaku. Keadaan lingkungan akan memberikan pengaruh terhadap objek sikap maupun pada individu yang bersangkutan.

Bringham dalam Azwar (2000:138) menjelaskan tipe ukuran sikap yang paling sering dipakai adalah questioner self-report yang disebut skala sikap dan biasanya meliputi respon setuju atau tidak dalam beberapa kelompok-kelompok. Ukuran self-report mudah digunakan namun ukuran itu dapat memiliki sifat kemenduaan (ambiguity) atau adanya ukuran lain. Sikap dari skala sikap ini adalah isi pernyataan yang berupa pernyataan langsung yang jelas tujuan ukuran atau pernyataan tidak langsung yang kurang jelas untuk tujuan ukurannya bagi responden.

Mengukur sikap bukan suatu hal yang mudah sebab sikap adalah kecenderungan, pandangan pendapat, atau pendirian seseorang untuk meneliti suatu objek atau persoalan dan bertindak sesuai dengan penilaiannya, dengan menyadari perasaan positif dan negatif dalam menghadapi suatu objek. Dalam penelitian sikap, tergantung pada kepekaan dan kecermatan pengukurannya. Perlu diperhatikan metode yang berhubungan dengan pengukuran sikap, bagaimana instrumen itu dapat dikembangkan dan digunakan untuk mengukur sikap. Azwar (2000:90) menjelaskan bahwa, metode yang bisa digunakan untuk pengungkapan sikap yaitu:

Observasi perilaku
Kalau seseorang menampakkan perilaku yang konsisten (terulang) misalnya tidak pernah mau diajak nonton film Indonesia, bukanlah dapat disimpulkan bahwa ia tidak menyukai film Indonesia. Orang lain yang selalu memakai baju warna putih, bukankah dia memperlihatkan sikapnya terhadap warna putih. Perilaku tertentu bahkan kadang-kadang sengaja ditampakkan untuk menyembunyikan sikap yang sebenarnya. Dengan demikian, perilaku yang diamati mungkin saja dapat menjadi indikator sikap dalam kontek situasional tertentu, tetapi interpretasi sikap warna sangat berhati-hati apabila hanya didasarkan dari pengamatan terhadap perilaku yang ditampakkan oleh seseorang.

Pertanyaan langsung
Asumsi yang mendasari metode pertanyaan langsung guna pengungkapan sikap, pertama adalah asumsi bahwa individu merupakan orang yang paling tahu mengenai dirinya sendiri, dan kedua adalah asumsi keterusterangan bahwa manusia akan mengemukakan secara terbuka apa yang dirasakannya.

Pengungkapan langsung
Suatu metode pertanyaan langsung adalah pengungkapan langsung (direct assessment) secara tertulis yang dapat dilakukan dengan menggunakan item tunggal maupun dengan menggunakan item ganda. Prosedur pengungkapan langsung dengan item ganda sangat sederhana. Responden diminta untuk menjawab langsung suatu pernyataan sikap tertulis dengan memberi tanda setuju atau tidak setuju. Penyajian dan pemberian respondennya yang dilakukan secara tertulis memungkinkan individu untuk menyatakan sikap secara lebih jujur. Pengukuran sikap yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pengungkapan langsung yaitu dengan menggunakan skala psikologis yang diberikan pada objek.

Sikap dan Perilaku Guru yang Profesional
Pemerintah sering melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas guru, antara lain melalui seminar, pelatihan, dan loka karya, bahkam melalui pendidikan formal bahkan dengan menyekolahkan guru pada tingkat yang lebih tinggi. Kendatipun dalam pelakansaannya masih jauh dari harapan, dan banyak penyimpangan, namun paling tidak telah menghasilkan suatu kondisi yang yang menunjukkan bahwa sebagian guru memiliki ijazah perguruan tinggi.

Latar belakang pendidikan ini mestinya berkorelasi positif dengan kualitas pendidikan, bersamaan dengan faktor lain yang mempengaruhi. Walaupun dalam kenyataannya banyak guru yang melakukan kesalahan-kesalahan. Kesalahan-kesalahan yang seringkali tidak disadari oleh guru dalam pembelajaran ada tujuh kesalahan. Kesalahan-kesalahan itu antara lain:

1. mengambil jalan pintas dalam pembelajaran,
2. menunggu peserta didik berperilaku negatif,
3. menggunakan destruktif discipline,
4. mengabaikan kebutuhan-kebutuhan khusus (perbedaan individu) peserta didik,
5. merasa diri paling pandai di kelasnya,
6. tidak adil (diskriminatif), serta
7. memaksakan hak peserta didik (Mulyasa, 2005:20).

Untuk mengatasi kesalahan-kesalahan tersebut maka seorang guru yang profesional harus memiliki empat kompetensi. Kompetensi tersebut tertuang dalam Undang-Undang Dosen dan Guru, yakni:

1. kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik,
2. kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik,
3. kompetensi profesional adalah kamampuan penguasaan materi pelajaran luas mendalam,
4. kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.

Sikap dikatakan sebagai suatu respons evaluatif. Respon hanya akan timbul, apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang dikehendaki adanya reaksi individual. Respon evaluatif berarti bahwa bentuk reaksi yang dinyatakan sebagai sikap itu timbul didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu yang memberi kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai baik buruk, positif negati, menyenangkan-tidak menyenangkan, yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap (Azwar, 2000: 15).

Sedangkan perilaku merupakan bentuk tindakan nyata seseorang sebagai akibat dari adanya aksi respon dan reaksi. Menurut Mann dalam Azwar (2000) sikap merupakan predisposisi evaluatif yang banyak menentukan bagaimana individu bertindak, akan tetapi sikap dan tindakan nyata seringkali jauh berbeda. Hal ini dikarenakan tindakan nyata tidak hanya ditentukan oleh sikap semata namun juga ditentukan faktor eksternal lainnya.

Menurut penuturan R.Tantiningsih dalam Wawasan 14 Mei 2005, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan agar beberapa sikap dan perilaku menyimpang dalam dunia pendidikan dapat hindari, diantaranya: Pertama, menyiapakan tenaga pendidik yang benar-benar profesional yang dapat menghormati siswa secara utuh. Kedua, guru merupakan key succes factor dalam keberhasilan budi pekerti. Dari guru siswa mendapatkan action exercise dari pembelajaran yang diberikan. Guru sebagai panutan hendaknya menjaga image dalam bersikap dan berperilaku. Ketiga, Budi pekerti dijadikan mata pelajaran khusus di sekolah. Kempat, adanya kerjasama dan interaksi yang erat antara siswa, guru (sekolah), dan orang tua.

Terkait dengan hal di atas, Hasil temuan dari universitas Harvard bahwa 85 % dari sebab-sebab kesuksesan, pencapaian sasaran, promosi jabatan, dan lain-lain adalah karena sikap-sikap seseorang. Hanya 15 % disebabkan oleh keahlian atau kompetensi teknis yang dimiliki (Ronnie, 2005:62).

Namun sayangnya justru kemampuan yang bersifat teknis ini yang menjadi primadona dalam istisusi pendidikan yang dianggap modern sekarang ini. Bahkan kompetensi teknis ini dijadikan basis utama dari proses belajar mengajar. Jelas hal ini bukan solusi, bahkan akan membuat permasalahan semakin menjadi. Semakin menggelembung dan semakin sulit untuk diatasi.

Menurut Danni Ronnie M ada enam belas pilar agar guru dapat mengajar dengan hati. Keenam belas pilar tersebut menekankan pada sikap dan perilaku pendidik untuk mengembangkan potensi peserta didik. Enam belas pilar pembentukan karakter yang harus dimiliki seorang guru, antara lain:

1. kasih sayang,
2. penghargaan,
3. pemberian ruang untuk mengembangkan diri,
4. kepercayaan,
5. kerjasama,
6. saling berbagi,
7. saling memotivasi,
8. saling mendengarkan,
9. saling berinteraksi secara positif,
10. saling menanamkan nilai-nilai moral,
11. saling mengingatkan dengan ketulusan hati,
12. saling menularkan antusiasme,
13. saling menggali potensi diri,
14. saling mengajari dengan kerendahan hati,
15. saling menginsiprasi,
16. saling menghormati perbedaan.

Jika para pendidik menyadari dan memiliki menerapkan 16 pilar pembangunan karakter tersebut jelas akan memberikan sumbangsih yang luar biasa kepada masyarakat dan negaranya.



Faktor Penyebab Sikap dan Perilaku Guru Menyimpang
Pendidikan merupakan upaya untuk mencerdaskan anak bangsa. Berbagai upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan telah dilaksanakan walapun belum menunjukkan hasil yang optimal. Pendidikan tidak bisa lepas dari siswa atau peserta didik. Siswa merupakan subjek didik yang harus diakui keberadaannya. Berbagai karakter siswa dan potensi dalam dirinya tidak boleh diabaikan begitu saja. Tugas utama guru mendidik dan mengembangkan berbagai potensi itu.

Jika ada pendidik (guru) yang sikap dan perilakunya menyimpang karena dipengaruhi beberapa faktor. Pertama, adanya malpraktik (meminjam istilah Prof Mungin) yaitu melakukan praktik yang salah, miskonsep. Guru salah dalam menerapkan hukuman pada siswa. Apapun alasannya tindakan kekerasan maupun pencabulan guru terhadap siswa merupakan suatu pelanggaran.

Kedua, kurang siapnya guru maupun siswa secara fisik, mental, maupun emosional. Kesiapan fisik, mental, dan emosional guru maupun siswa sangat diperlukan. Jika kedua belah pihak siap secara fisik, mental, dan emosional, proses belajar mengajar akan lancar, interaksi siswa dan guru pun akan terjalin harmonis layaknya orang tua dengan anaknya.

Ketiga, kurangnya penanaman budi pekerti di sekolah. Pelajaran budi pekerti sekarang ini sudah tidak ada lagi. Kalaupun ada sifatnya hanya sebagai pelengkap, lantaran diintegrasikan dengan berbagai mata pelajaran yang ada. Namun realitas di lapangan pelajaran yang didapat siswa kabanyakan hanya dijejali berbagai materi. Sehingga nilai-nilai budi pekerti yang harus diajarkan justru dilupakan.

Selain dari ketiga faktor di atas, juga dipengaruhi oleh tipe-tipe kejiwaan seperti yang diungkapkan Plato dalam "Tipologo Plato", bahwa fungsi jiwa ada tiga, yaitu: fikiran, kemauan, dan perasaan. Pikiran berkedudukan di kepala, kemauan berkedudukan dalam dada, dan perasaan berkedudukan dalam tubuh bagian bawah. Atas perbedaan tersebut Plato juga membedakan bahwa pikiran itu sumber kebijakasanaan, kemauan sumber keberanian, dan perasaan sumber kekuatan menahan hawa nafsu.

Jika pikiran, kemauan, perasaan tidak sinkron akan menimbulkan permasalahan. Perasaan tidak dapat mengendalikan hawa nafsu, akibatnya kemauan tidak terkendali dan pikiran tidak dapat berpikir bijak. Agar pendidikan di Indonesia berhasil, paling tidak pendidik memahami faktor-faktor tersebut. Kemudian mampu mengantisipasinya dengan baik. Sehingga kesalahan-kesalahan guru dalam sikap dan perilaku dapat dihindari.

Bagaimanapun juga kualitas pendidikan di Indonesia harus mampu bersaing di dunia internasional. Sikap dan perilaku profesional seorang pendidik akan mampu membawa dunia pendidikan lebih berkualitas. Dengan demikian diharapkan mampu mewujudkan tujuan pendidikan nasional Indonesia yaitu membentuk manusia Indonesia seutuhnya.


Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sikap dan perilaku guru yang profesional adalah mampu menjadi teladan bagi para peserta didik, mampu mengembangkan kompetensi dalam dirinya, dan mampu mengembangkan potensi para peserta didik. Sikap dan perilaku guru yang profesional mencakup enam belas pilar dalam pembangun karakter. Keenam belas pilar tersebut, yakni kasih sayang, penghargaan, pemberian ruang untuk mengembangkan diri, kepercayaan, kerjasama, saling berbagi, saling memotivasi, saling mendengarkan, saling berinteraksi secara positif, saling menanamkan nilai-nilai moral, saling mengingatkan dengan ketulusan hati, saling menularkan antusiasme, saling menggali potensi diri, saling mengajari dengan kerendahan hati, saling menginsiprasi, saling menghormati perbedaan.

Sikap dan perilaku guru dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang mempengaruhinya berupa faktor eksternal dan internal. Oleh karena itu pendidik harus mampu mengatasi apabila kedua faktor tersebut menimbulkan hal-hal yang negatif.

Saran
Para pendidik, calon pendidik, dan pihak-pihak yang terkait hendaknya mulai memahami, menerapkan, dan mengembangkan sikap-sikap serta perilaku dalam dunia pendidikan melalui teladan baik dalam pikiran, ucapan, dan tindakan.



DAFTAR PUSTAKA
Azwar Saifuddin, 2000. Sikap Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mar'at, 1981. Sikap Manusia Perubahan serta Pengukuran. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Mulyasa, 2005. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ronnie M. Dani, 2005. Seni Mengajar dengan Hati. Jakarta: Alex Media Komputindo.
R. Tantiningsih, 2005. Guru Cengkiling dan Amoral. Koran Harian Sore Wawasan. 14 Mei 2005.
Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta: BP. Media Pustaka Mandiri.


(Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan bagian PENDIDIKAN)

Belajar di Sekolah

Sekolah menjadi institusi paling penting saat ini, orang yang tidak masuk kedalamnya diyakini kelak akan hidup sengsara. Tidak mengherankan jika setiap tahun ajaran baru, selalu terjadi perlombaan orangtua untuk memasukkan anaknya ke sekolah. Semakin favorit, akan semakin terjamin masa depan anak.
Sekolah dianggap sebagai lembaga super, tempat mencetak orang-orang menjadi baik dan pintar. Wajar jika kemudian para orang tua menyerahkan fungsi pendidikan anak-anak mereka kepada sekolah dan menggantinya dengan membayar iuran rutin.

Begitupun ketika korupsi mewabah di Indonesia. Sekolah dijadikan sebagai benteng terakhir perlawanan. Bahkan sewaktu bertemu dengan koalisi antarumat beragama untuk antikorupsi, Mendiknas Bambang Sudibyo sempat akan memasukkan materi mengenai antikorupsi ke dalam kurikulum.

Sebagai lembaga pengajaran nilai-nilai kebaikan, sekolah diharapkan memiliki peran besar dalam usaha-usaha pemberantasan korupsi. Walaupun menjadi tempat menyemai harapan, bukan berarti peran dan fungsi sekolah tidak ada yang mengkritik. Malah banyak di antaranya menyatakan sekolah bagian dari masalah di masyarakat. Seperti Ivan Illich yang menginginkan masyarakat dibebaskan dari belenggu sekolah (Yayasan Obor Indonesia, 2000) atau Roem Topatimasang yang menganggap sekolah sebagai candu (Insist, 2001).

Sekolah divonis gagal menjalankan fungsinya. Sebagai institusi pengajaran, tempat melatih keterampilan peserta didik mengantisipasi dan menciptakan teknologi, ternyata sekolah tidak mampu berbuat apa-apa dan jauh tertinggal oleh tempat-tempat kursus. Sementara sebagai institusi pendidikan, yang mengantarkan siswa menjadi manusia paripurna, sekolah ternyata juga mandul, malah menjadi penjara yang membunuh kreativitas dan potensi siswa serta menghambat proses pemanusiaan.

Lantas bagaimana dengan kemampuannya menjadi tempat memulai perjuangan melawan korupsi di Indonesia yang telah memasuki stadium tiga seperti sekarang? Jawabannya adalah pertanyaan; apakah produk sekolah, SD hingga SMA, yang setiap tahun meningkat menambah koruptor atau menambah orang yang taat hukum? Tentunya sangat sulit untuk mengukur bahkan barangkali alat-alat ukurnya pun tidak ada.

Jalan termudah adalah melihat bagaimana cara sekolah bekerja, terutama dalam menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran terhadap siswa. Apabila merujuk taksonomi pendidikan-nya Benjamin S Bloom, ada tiga ranah kemampuan yang kemudian dijadikan sebagai pedoman dalam kegiatan belajar mengajar: kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotorik (keterampilan).

Sebelum mengajar, guru biasanya membuat satuan pelajaran (satpel), termasuk di dalamnya menentukan tujuan instruksional umum (TIU) dan tujuan instruksional khusus (TIK). Satpel umumnya dipaksa mencakup kognitif, afektif, dan psikomotorik. Apalagi dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang mulai 2004.

Memang, jika ingin menjadi lembaga yang bisa mendorong usaha pemberantasan korupsi, titik tekan tentunya ada pada kemampuan afektif dan psikomotorik. Murid didorong tidak hanya mengetahui apa itu korupsi, seperti apa dampaknya, dan bagaimana cara memberantasnya. Tapi yang lebih penting bagaimana murid menerapkan nilai-nilai antikorupsi seperti menghormati hak orang lain atau taat pada hukum.

Namun, praktiknya, kegiatan belajar-mengajar di sekolah lebih menekankan pada kemampuan kognitif. Murid masih menjadi celengan guru, menghafal semua pelajaran yang kemudian keluar saat ujian. Secara kognitif murid diajarkan supaya jujur, taat hukum, tenggang rasa, dan peduli pada sesama, tetapi sebatas teori. Akibatnya, kemampuan maksimal murid hanya sebatas hafal pada nilai-nilai kebaikan. Tidak mengherankan jika ada murid yang jago tawuran tapi nilai pendidikan moralnya sangat bagus.

Justru yang sering kali dilupakan adalah pelajaran informal, terutama menyangkut perilaku guru maupun kepala sekolah. Bagaimana sikap mereka dalam mengelola sekolah, merupakan pelajaran yang dengan efektif bisa membentuk sisi afektif (sikap) siswa. Sayangnya, pelajaran tersebut justru sering kali berbeda dengan yang diajarkan di ruang kelas (kognitif).

Sejak pendaftaran hingga lulus, murid dipertontonkan bagaimana praktik korupsi. Ketika mendaftar, mereka dibebani segala macam biaya; bangunan, buku pelajaran, kebersihan, atau seragam. Bahkan mereka yang kemampuan akademis di bawah standar, kadangkala bisa membeli kursi. Pelajaran awal yang didapat murid dari sekolahnya adalah cara menyuap.

Sewaktu belajar di sekolah, murid diajarkan tidak mengambil hak orang dengan alasan apa pun, tapi pada saat bersamaan, tanpa ada aturan yang jelas, dia harus membayar hampir semua aktivitasnya. Walau sudah membayar iuran bulanan, setiap kali ujian diminta mengganti biaya fotokopi soal, jika tidak lulus, asal mau bayar masih bisa mengikuti ujian susulan. Begitupun sewaktu olahraga, masih dikutip iuran renang atau lapangan, jika malas ikut, asalkan bayar akan tetap diberi nilai.

Selain itu, perilaku kepala sekolah terutama dalam mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS) turut memberi pengaruh pada murid. Murid secara tidak langsung diajarkan agar tertutup dalam mengelola dana publik; merahasiakan jumlahnya, dari mana sumbernya, dan akan digunakan untuk apa saja. Termasuk tidak memberi pertanggungjawaban pemakaiannya secara reguler.

Begitupun ketika akan lulus. Sekolah menyodorkan berbagai biaya seperti ujian akhir, perpisahan, atau menebus ijazah. Murid diancam tidak boleh ikut ujian atau mendapat ijazah jika tidak bisa menyelesaikan urusan tersebut. Pelajaran terakhir dari sekolah adalah cara memeras.

Apabila ada yang ditanya apa yang paling diingat ketika sekolah, tentu jawabannya bukan pelajaran tapi perilaku guru atau kepala sekolah. Korupsi yang dipraktikkan guru atau kepala sekolah merupakan pelajaran yang akan terus diingat. Akhirnya sekolah bukan menjadi benteng antikorupsi, tapi tempat terbaik untuk belajar korupsi.

Akan tetapi, sangat tidak adil jika guru atau kepala sekolah yang disalahkan. Karena mereka hanya mencontoh sekaligus korban birokrasi di atasnya, seperti pejabat di dinas pendidikan atau Depdiknas. Untuk menjadi guru atau kepala sekolah harus ada uang setoran, agar sekolah mendapat bantuan program atau proyek mesti disediakan fee dan uang jasa, ketika pengawas datang harus dibekali uang transportasi. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Ah!

(Repost dari Ade Irawan, Pernah Menjadi Guru, Kini Aktif di Indonesia Corruption Watch dan Koalisi Pendidikan untuk rekan - rekan guru - Tulisan ini disalin dari Kompas, 28 September 2005)

Minggu, 02 Maret 2008

Pemimpin harus mampu Inspirasikan

Oleh: Sayogi. S.Pd.

Mukadimah
Salah satu kekuatan di bumi ini adalah inspirasi, kekuatan menakjubkan ini bisa ditelusuri keajaibannya dalam alam yang sangat jauh yang tidak seorangpun dapat mengatakan batasannya.

Inspirasi sifatnya menyebar dan mempengaruhi tidak hanya orang yang berhubungan dengan orang tersebut saja tetapi menyeluruh ke semua lini. Keyakinan dalam diri manusia seperti setom menarik lokomotif sebuah gerakan vital yang mendorong tindakan. Pemimpin yang besar tahu bagaimana mengilhami keyakinan dalam di kalangan orang tua dan staff.

Memberikan Inspirasi pada Diri Sendiri
Prinsip-prinsip yang berhubungan dengan inspirasi atau dengan kata-kata atau tindakan kita yang dapat mempengaruhi pemikiran untuk inovasi, imajinasi, komunikasi pemikiran dan satu pikiran untuk menciptakan suatu keberhasilan yng tak terukur. Untuk itu emosional yang teratur mempengaruhi segala bentuk motivasi diri.
Secara singkat penulis memberikan pengertian tentang “Inspirasi” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia inspirasi adalah dorongan yang dapat membangkitkan seseorang untuk berkarya dalam dunia seni atau gagasan atau ide dalam ingatan. Dalam bahasa Belanda inspirasi artinya Ilham.

Memberikan Inspirasi pada Staff
Inspirasi memberikan keadaan yang mengilhami dan membangkitkan seseorang untuk melakukan tindakan dan tugas yang kita berikan dengan ketentuan yang berlaku sehingga staff dapat mengembangkan imajinasi dan kreativitasnya tanpa terbebani dengan beberapa ketentuan.
1. Rumongso hardarbeni (merasa memiliki)
2. Wajib melu hangrubeki (menjaga / mengembangkan)

Memberikan Inspirasi Kepada Orang Tua Murid
Orang tua murid adalah aset terbesar yang ada di sekolah. Untuk memberikan warna tersendiri guna pemahaman yang selaras tentunya tidak mudah. Dalam hal ini kita perlu memberikan dalam beberapa hal :
1. Mainkan peran kita
2. Berikan layanan yang maksimal (cepat, akurat, dan lugas)
3. Informasikan hal yang menarik tentang sekolah (prestasi)
4. Berikan kesempatan untuk saling menerima masukan


KEPEMIMPINAN ADALAH KETELADANAN
Seorang pemimpin harus mempunyai arah dan tujuan serta prinsip seperti yang diajarkan oleh Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantara, “Ing ngarso sung tuludo, didepan menjadi teladan, ing madyo mangun karso, ditengah memberikan semangat, Tut Wuri Handayani, di belakang memberikan dorongan”. Pemimpin tidak saja mempengaruhi pengikutnya dengan cara memberikan motivasi tetapi juga memberikan contoh nyata. Mereka sadar bahwa seluruh mata hatinya memandang pada dirinya dalam arti yang seutuhnya. Mereka

Hakikat Kepemimpinan

Oleh: Drs. Marwan MA

Beberapa Studi Kepemimpinan
Kepemimpinan sebagai salah satu fungsi mannajemen merupakan hal yang sangat penting untuk mencapai tujuan organisasi. Dengan amat berat seolah – olah kepemimpinan dipaksa mengahadapi berbagai macam faktor seperti struktur atau tatanan, koalisi, kekuasaan dan kondisi lingkungan organisasi. Sebaliknya kepemimpinan rasanya dapat dengan mudah menjadi satu alat penyelesaian yang luar biasa terhadap persoalan apa saja yang sedang menimpa dalam suatu organisasi.

Dalam hal ini kepemimpinan dapat berperan di dalam melindungi beberapa isu pengaturan oraganisasi yang tidak tepat , seperti ; distribusi kekuasaan yang menjadi penghalang tindakan yang efektif, kekurangan berbagai macam sumber, prosedur yang dianggap buruk dan sebagainya, yaitu problem – problem oraganisasi yang lebih bersifat mendasar.

Demikianlah esensi salah satu pendapat yang diungkapkan oleh Richard H. Hall melalui bukunya yang berjudul Organization ; Structure and Process, mengapa perlu dan banyak terdapat studi tentang kepemimpinan pada masa lalu. Suatu kenyataan bahwa di dalam situasi tertu kepemimpinan dirasakan penting , bahkan amat penting.

Oleh karena peranan sentral kepemimpinan dalam organisasi tersebut, maka dimensi – dimensi kepemimpinan yang bersifat kompleks perlu dipahami dan dikaji secara terkoordinasi, sehingga peranan kepemimpinan dapat dilaksanakan secara efektif. Dimensi – dimensi tersebut adalah definisi apa yang dimaksud kepemimpinan , berbagai macam studi tentang kepemimpinan,tugas dan fungsi kepemimpinan, efektivitas kepemimpinan, serta usaha – usaha memperbaiki kepemimpinan.

Hakikat Kepemimpinan.
Dari definisi sesuatu pokok permasalahan akan dapat diperoleh keterangan atau frase yang mengungkapkan makna, atau ciri – ciri utama baik berupa orang, benda, proses atau kegiatan.

Kepemimpianan diterjemahkan ke dalam istilah ; sifat – sifat, perilaku pribadi, pengaruh terhadap orang lain, pola – pola interaksi, hubungan kerja sama antar peran, kedudukan dari satu jabatan administratif, dan persepsi dari lain – lain tentang legitimasi pengaruh.

Dalam suatu defenisi terkandung suatu makna atau nilai –nilai yang dapat dikembangkan lebih jauh, sehingga dari suatu definisi dapat diperoleh suatu
pengertian yang jelas dan menyeluruh tentang sesuatu. Satu diantara definisi kepemimpinan yang bermacam – macam tersebut

Kepemimpinan adalah seni bagaimana mempengaruhi orang lain agar dapat bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya secara efektif dan efesien.